Koran di Iran Diberedel setelah Laporkan Jumlah Kematian Covid-19 20 Kali Lebih Banyak
Sebuah surat kabar di Iran diberedel setelah melaporkan tingkat kematian Covid-19 lebih dari angka resmi pemerintah.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah surat kabar di Iran diberedel setelah melaporkan tingkat kematian Covid-19 lebih dari angka resmi pemerintah.
Menurut laporan Daily Mail, surat kabar itu memuat wawancara yang mengatakan bahwa angka kematian akibat wabah ini sebenarnya 20 kali lebih tinggi dari catatan pemerintah.
Surat kabar harian Jahan-e-Sanat yang fokus pada topik ekonomi ini diberedel pasca mewawancara mantan anggota gugus tugas Covid-19.
"Surat kabar Jahan-e Sanat ditutup hari ini karena menerbitkan wawancara pada hari Minggu," kata pemimpin redaksi, Mohammadreza Saadi, kepada IRNA via Reuters.
Adapun judul wawancara yang terbit pada Minggu itu adalah 'Tidak Ada Kepercayaan pada Statistik Pemeirntah'.
Epidemiolog sekaligus mantan tim gugus tugas, Mohammadreza Mahboubfar mengatakan bahwa kematian akibat Covid-19 di Iran jauh lebih besar dari angka selama ini.
Bahkan menurutnya bisa jadi 20 kali lebih tinggi dari angka resmi pemerintah.
"Pemerintah menggunakan kerahasiaan karena alasan politik dan keamanan," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan kematian bisa mencapai 37.000 dengan 6,5 juta kasus infeksi.
Baca: Setelah China dan Iran, Kini Korea Utara Berani Beri Peringatan Perang Nuklir pada Amerika Serikat
Baca: Cerita Pria Iran Tipu Pengusaha Cantik Makassar, Dijanjikan Akan Dinikahi, Duit Keluar Puluhan Juta
"Angka kematian dan kasus Covid-19 yang diumumkan pemerintah hanya 5 persen dari jumlah korban sebenarnya di negara ini," jelas Mahboubfar.
Setelah hasil wawancara ini beredar, pemerintah bungkam ketika diminta berkomentar.
Jubir Kementerian Kesehatan Iran, Sima Sadat Lari memilih diam dan mengatakan bahwa Mahboubfar bukan merupakan anggota Satgas Virus Corona Nasional.
Tidak jelas apa yang dimaksud Sima Sadat menyoal hal ini.
Lebih lanjut Mahboubfar mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya sudah mendeteksi virus corona sejak Januari silam.
Adapun Iran baru mengumumkan kasus infeksi Covid-19 pertama dengan dua kematian pada 19 Februari.
"Tidak ada arus informasi yang transparan."
"Pemerintah hanya memberikan angka-angka yang direkayasa atas kekahwatirannya tentang (dampaknya) pada pemilu dan peringatan hari jadi revolusi," kata Mahboubfar kepada surat kabar harian itu.
Reuters pada April lalu melaporkan bahwa pemerintah Iran sempat tidak melaporkan angka kasus Covid-19.
Pemerintah disebut khawatir wabah ini akan mengganggu ketenangan publik menjelang pemilihan parlemen pada Februari.
Sekaligus takut mempengaruhi perayaan peringatan Revolusi Islam 1979.
Di awal pandemi, Iran menjadi pusat penularan Covid-19 di Timur Tengah.
Negara ini bahkan sempat mengalami lonjakan kasus dan kematian yang tinggi kala itu.
Baca: Wanita Pengusaha di Makassar Ditipu WNA Asal Iran, Kerugian Capai Ratusan Juta
Baca: Wanita Kaya dan Cantik Asal Makassar Ditipu Pemuda Iran, Diajak Pacaran Lalu Diperas Hartanya
Tercatat 18.616 korban meninggal dan 328.844 kasus infeksi di negara ini.
Sejak awal pandemi, sejumlah ahli dan anggota parlemen meragukan keakuratan angka korban Covid-19 resmi.
Bahkan April lalu muncul hasil penelitian dari parlemen Iran yang menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa hampir dua kali lipat dari catatan resmi.
Dikatakan angka resmi Covid-19 hanya didasarkan pasien yang dirawat di rumah sakit dan yang sudah dites positif corona.
Menurut Worldometers pada Selasa (11/8/2020), saat ini Iran menduduki posisi ke-11 negara dengan kasus corona terbanyak.
Sejauh ini sudah ada 286.642 orang yang sembuh dari wabah asal China ini.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)