Menlu Jerman: Pemerintah Lebanon Harus Perangi Korupsi Setelah Ledakan Beirut
Ledakan pada pekan lalu terjadi di pelabuhan Beirut dan menewaskan sedikitnya 172 orang, melukai beberapa 6.000, dan mengakibatkan sekitar 300.000
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, BEIRUT -- Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan Lebanon membutuhkan pemerintah yang mampu memerangi korupsi dan melakukan reformasi.
Hal ini disampaikannya saat mengunjungi pelabuhan Beirut, seperti dilansir Reuters, Kamis (13/8/2020).
Ledakan pada pekan lalu terjadi di pelabuhan Beirut dan menewaskan sedikitnya 172 orang, melukai beberapa 6.000, dan mengakibatkan sekitar 300.000 orang tak memiliki tempat tinggal.
"Tidak mungkin segala sesuatunya berjalan seperti sebelumnya," ujar Heiko Maas.
"Komunitas internasional siap berinvestasi tetapi membutuhkan sekuritas untuk investasi ini. Penting untuk memiliki pemerintah yang memerangi korupsi," jelasnya.
"Banyak negara di Eropa memiliki banyak minat untuk membantu negara ini. Mereka ingin memastikan ada reformasi ekonomi dan pemerintahan yang baik," ucapnya.
Pengunduran diri pemerintahan Perdana Menteri Hassan Diab telah memperdalam ketidakpastian di Lebanon.
Pembentukan pemerintahan baru bisa menakutkan di tengah perpecahan dan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat dengan kelas penguasa.
Baca: Muncul Temuan Baru Penyebab Ledakan di Beirut, Bukan Karena Amonium Nitrat Tapi Misil Militer
Menteri Luar Negeri Rusia dan Arab Saudi sepakat pada hari Rabu tentang pentingnya menciptakan "kondisi eksternal bermanfaat" untuk pembentukan pemerintah baru Lebanon.
Ledakan dari 2.000 ton amonium nitrat pada Selasa (4/8/2020), telah menewaskan 172 orang dan melukai lebih dari 6.000 orang.
Hal ini memicu gelombang kemarah warga dan menyerukan ganti pemerintahan.
16 Orang Ditahan
Ototitas Lebanon telah menangkap 16 orang terkait ledakan besar di gudang pelabuhan Beirut pada Selasa (4/8/2020).
Demikian kantor berita negara National News Agency (NNA) mengutip keterangan hakim Fadi Akiki, perwakilan pemerintah di pengadilan militer, seperti dilansir Reuters, Jumat (7/8/2020).