Salah Ucap, Bukannya Herd Immunity, Donald Trump Sebut Herd Mentality Bisa Atasi Virus Corona
Presiden AS Donald Trump menggemborkan herd immunity, strategi kontroversial untuk memerangi pandemi virus corona, meskipun dia mungkin salah sebut
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
Sementara itu, hasil studi pada bulan Juli lalu mengungkapkan herd immunity mungkin tidak akan bisa tercapai karena antibodi dalam beberapa pasien Covid-19 yang sudah sembuh hanya bertahan selama beberapa minggu saja.
Studi tersebut dilakukan oleh tim peneliti di Spanyol dan dipublikasikan dalam jurnal medis The Lancet pada 6 Juli 2020.
Dilansir Business Insider, pemerintah Spanyol bekerja sama dengan beberapa epidemiologis top untuk mengetahui berapa persentase populasi yang mengembangkan antibodi agar bisa menyediakan imunitas kelompok dari virus corona.
Studi mengungkapkan, hanya 5 persen dari yang dites di seluruh negeri yang tetap memiliki antibodi.
Studi ini juga menemukan, 14 persen orang yang dites positif memiliki antibodi virus corona pada pengujian tahap pertama, tidak lagi memiliki antibodi pada tes yang dilakukan beberapa minggu kemudian.
"Kekebalan bisa tidak lengkap, bisa sementara, bisa bertahan hanya untuk waktu yang singkat dan kemudian menghilang," ujar Raquel Yotti, direktur Institut Kesehatan Spanyol Carlos III, yang membantu melakukan penelitian tersebut.
Peneliti lain mengatakan, studi ini mengonfirmasi temuan di tempat lain, kekebalan terhadap virus mungkin tidak tahan lama pada orang yang hanya mengembangkan gejala ringan, atau tanpa gejala.
"Tidak ada gejala yang menunjukkan infeksi ringan, tidak pernah benar-benar membuat sistem kekebalan berjalan cukup baik untuk menghasilkan 'memori' imunologis," ungkap Ian Jones, profesor virologi di University of Reading.
Jones menambahkan, "Siapa pun yang dites positif memiliki antibodi seharusnya tidak dianggap terlindungi. Mereka mungkin saja terlindungi, tetapi tidak jelas."
Pendukung herd immunity berpendapat, dengan membiarkan sekitar 60 persen atau lebih populasi tertular virus corona, maka virus tidak akan datang lagi di masa depan.
Namun, penelitian ini menemukan, meskipun Spanyol menjadi salah satu negara yang paling parah terkena dampak COVID-19, perkiraan prevalensi tetap rendah dan jelas tidak cukup untuk memberikan kekebalan komunitas.
Lebih dari 28.000 orang di Spanyol meninggal setelah terkena virus corona.
Baca: Mahasiswa Asing di AS Terancam Dideportasi Jika Universitas Mereka Menerapkan Mata Kuliah Online
Baca: Kasus Langka Amuba Pemakan Otak Ditemukan di Florida, Otoritas Imbau Masyarakat Hindari Air Keran
Penulis utama penelitian ini, Marina Pollán, mengatakan kepada CNN: "Beberapa ahli telah menghitung, sekitar 60 persen dari seroprevalensi mungkin berarti kekebalan terhadap kawanan. Tapi kami sangat jauh dari mencapai angka itu."
Dua ilmuwan lain yang terlibat dalam penelitian ini, Isabella Eckerle dan Benjamin Meyer, mengatakan studi Spanyol, bersama dengan studi serupa di tempat lain di dunia seperti di AS dan China menunjukkan, kekebalan komunitas tidak dapat dicapai.