Teror Dahsyat di Nairobi dan Tanzania yang Mengubah Hidup Omar Nasiri (5)
Omar Nasiri bekerja untuk Dinas Intelijen Prancis, dan mengetahui betapa Dinas Rahasia Inggris ternyata tidak memahami anatomi gerakan radikalis.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Samuel Paty, seorang guru sejarah di Prancis, tewas dipenggal pemuda berdarah Chechnya. Aksi ini menyodorkan fakta betapa paham radikal begitu dalam menyusupi bangsa Prancis. Omar Nasiri lewat bukunya “Inside The Jihad: A Spy’s Story”, menguak bagaimana kaum radikalis bekerja di Eropa. Banyak hal bisa dicegah, termasuk serangan maut 9/11 ke New York, jika saja Nasiri tak diremehkan.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Omar Nasiri menyesap anggur Turki di Jembatan Galata yang menghadap Golden Horn. Selat Bosphorus yang memisahkan daratan Eropa dan Asia tampak tenang.
Sore itu sangat cerah di musim panas yang indah. Turis-turis dari bermacam negara lalulalang. Para pemancing menghabiskan hari. Siluet mereka tertangkap cahaya matahari.
Seminggu sudah Nasiri meninggalkan Pakistan yang berbahaya. Ia menelepon Gilles, tapi gagal. Pesannya juga tidak sampai.
Nasiri muncul di kantor Konsulat Prancis di Istanbul. Seorang staf memperhatikan dirinya. Ia tampak terkejut. Nasiri tersenyum kecil. Anak itu tahu siapa dirinya.
Baca juga: Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)
Baca juga: Omar Nasiri Mendengar Rekaman Dramatis Detik-detik Serbuan Pembajak Pesawat Air France 8969 (2)
Baca juga: Omar Nasiri Berhasil Memasuki Sarang Mujahidin di Kamp Khaldan Afghanistan (3)
Bergegas ia minta Nasiri menuju sebuah ruangan, meminta nomer telepon yang bisa dihubungi. Dua jam kemudian Gilles menelponnya ke hotel.
“Aku kehabisan uang,” kata Nasiri terus terang. “Bisa ku tangani itu,” sahut Gilles. Sejam kemudian uang itu tiba di hotel, disusul kedatangan Gilles tiga hari kemudian.
Kembali ke Jaringan Dinas Rahasia Prancis
Selama beberapa hari kemudian, pria berwajah tenang itu mengorek banyak hal dari Nasiri. Semua pengalaman dan detil-detil informasi di Afghanista dan Pakistan digalinya.
Kini tak ada lagi yang tersisa dari Nasiri. “Bagaimana kau akan melakukannya?” tanya Gilles. “Melakukan apa?” sahut Nasiri. “Perintah Abu Zubaydah dan Ibnu Sheikh,” kata Gilles.
Nasiri tercekat. Ia tak menduga pertanyaan itu. “Dengan bantuanmu, kurasa,” jawab Nasiri. Singkat cerita, Gilles segera menyusun rencana detil. Ia membantu Nasiri mendapatkan paspor baru Senegal.
Pria Maroko itu segera terbang dari Istanbul ke Dakar lewat Dubai, Nairobi dan Abidjan. Empat hari dihabiskan untuk perjalanan berliku, khas cara dinas rahasia menyembunyikan jejak agennya.
Sebulan kemudian Nasiri tiba di Paris menggunakan paspor baru Senegal. Ia protes ke Gilles karena nama barunya sungguh mengganggunya. Abu Imam al-Mughrabi. Nama itu bakal menyulitkannya.
Nasiri menikmati semua kemewahan Paris, termasuk mengencani Fatima, gadis Jerman yang menghabiskan malam pikniknya di tepi Sungai Seine.
Keesokan harinya, Gilles menemui Nasiri di hotel. Ia menyorongkan paspor dan kartu identitas baru atas nama Pablo Rodrigues. Nasiri senang. Ia lebih mudah memerankan diri sebagai orang Spanyol.
Hari berikutnya Nasiri dan Gilles berangkat ke London naik kereta Eurostar ke Dover. Melanjutkan perjalanan naik bus, turun di Stasiun Victoria. Gilles lalu menghilang di keramaian.
Hari baru Nasiri, mata-mata orang Maroko berpaspor Eropa, dimulai. Ia sepenuhnya dipantau dinas rahasia Inggris. Bahkan, sejak meninggalkan Paris.
Markas Pemuda Four Feathers di Jalan Roosmore tujuan pertamanya membaur ke komunitas Muslim di London. Di tempat itu seorang pendakwah bernama Abu Qatada akan berceramah.
Lokasi itu tempat rutin berkumpulnya orang-orang dari Aljazair, Maroko, Tunisia, India, Pakistan, dan beberapa dari Afghanistan.
Menjelajahi Pusat-pusat Radikalisasi Abu Qatada
Nasiri memperhatikan dan mempelajari setiap detil orang yang berkumpul tiap Jumat dan akhir pekan.
Ia mengingat seseorang yang pernah masuk di kamp ada di komunitas itu. Abu Walid namanya.
Pria itu kurus, selalu membantu Abu Qatada. Ia mengumpulkan sumbangan yang dimasukkan di kotak amal di markas komunitas tersebut.
Hingga suatu pertemuan yang diikuti Nasiri, tiba-tiba Abu Qatada memutuskan hubungan dengan Al Ansar, bulletin propaganda kelompok radikal Aljazair, GIA. Abu Qatada berbeda jalan jihad.
Kekejaman GIA di Aljazair saat itu mencapai puncaknya. Mereka membunuh siapa saja yang berbeda dan dianggap melawan gerakan mereka.
Keputusan Abu Qatada yang ceramahnya dalam tapi tidak provokatif itu, membuat popularitasnya di mata orang Aljazair dan radikalis ambruk. Jemaat kotbah Jumatnya merosot.
Beberapa pekan berikutnya, Nasiri menghadiri debat menghadirkan Abu Qatada, Abu Walid dan dua nama lain, Abu Hamza dan Abu Omar.
Abu Hamza pria yang terlihat aneh. Matanya ditutup sebelah. Kedua tangannya putus, digantikan lengan palsu berujung pengait seperti gambaran bajak laut.
Nasiri teringat cerita Asadullah di kamp Darunta, Jalalabad. Inilah Abu Hamza, yang kedua tangannya putus ketika percobaan membuat peledak nitrogliserine.
Orang itu rutin memberikan kotbah Jumat di masjid Finsbury Park London. Ke tempat itulah Nasiri bakal melanjutkan tugasnya memonitor Abu Hamza dan ceramah-ceramahnya yang provokatif.
Kini Nasiri tahu benar perbedaan Abu Qatada dan Abu Hamza. Ia melihat Abu Qatada jauh lebih berbahaya ketimbang Abu Hamza yang pidatonya membakar namun kosong.
Nasiri menyampaikan penilaiannya pada Gilles dan Daniel, agent handler dari dinas rahasia Inggris yang jadi pengawasnya. Tapi keduanya menganggap Abu Hamza lebih perlu diawasi.
Nasiri menentang, tapi ia tidak punya pilihan. Abu Hamza kini jadi pusat perhatiannya, meski Abu Qatada telah ia ketahui memiliki kontak intensif dengan Abu Zubayda dan Afghanistan.
Dinas Intelijen Inggris Tidak Paham Anatomi Radikalis
Nasiri juga mengungkapkan apa yang ia sebut kebodohan intelijen Inggris. Mereka sama sekali tidak memahami anatomi gerakan radikal dan bagaimana mereka bekerja.
Ini terlihat saat Daniel menawarkan skenario menjebak orang-orang radikal, untuk kemudian menangkapnya dengan barang bukti di tangan. Nasiri tertawa.
Begitu juga skenario menawarkan granat untuk dipasok ke Aljazair atau tempat manapun yang dibutuhkan orang-orang itu. Lagi-lagi Nasiri tertawa.
Intel Inggris itu begitu bodohnya, menganggap mereka para radikalis tidak tahu apa-apa tentang senjata. Di Afghanistan, segala jenis senjata, granat, bom, peledak lainnya dipelajari cermat dan detil.
“Mereka tidak berpikir panjang, atau berusaha mempelajari bagaimana musuh mereka bergerak. Mereka membiarkan fantasi mereka berkelana,” kata Nasiri.
Cara berpikir intelijen barat seperti itulah yang membuat mereka terlambat mencegah teror. Bahkan mereka tak menyadari teroris itu benar-benar sudah ada di depan matanya.
Nasiri sudah menjalani rutinitas sebagai mata-mata di London selama hampir dua tahun. Ia mulai jenuh. Ia merasa pekerjaannya banyak yang sia-sia. Ia ingin menikmati kehidupan normal, bersama Fatima.
Abu Hamza sudah berubah pendiriannya. Ia tidak lagi menyokong perjuangan radikalis Aljazair, setelah melihat kekejaman demi kekejaman mereka di luar batas.
Kehidupan Nasiri berubah total pada 7 Agustus 1998. Hari itu bom dahsyat berledakan di Kedubes AS di Nairobi, Kenya dan Dar es-Salam Tanzania. Ratusan orang tewas.
Gambar dan video yang disaksikan Nasiri di televisi menguras emosinya. Ia mematikan ponsel, lalu pergi keluar flat, berjalan-jalan menghilangkan suntuk.
Malamnya sepulang ke flat, ia menyalakan ponsel yang lalu bordering-dering. “Mereka menelponku,” pekik Fatima di seberang. “Siapa?” Tanya Nasiri. “Mark dan Alexandre,” jawabnya.
Nasiri terkesiap. Tidak pernah intel DGSE dan MI5 menelepon Fatima sebelumnya. Sepertinya ada sesuatu yang genting. Nasiri menghubungi Mark, yang lalu menelepon balik.
“Kami mempercepat kepergianmu ke Afghanistan,” kata Alexandre. “Hari ini kau akan berangkat ke Dakar (Senegal),” lanjutnya sembari menggangsurkan tiket penerbangan.
Nasiri merasa lega. Ia bisa meninggalkan London yang membosankan, dan intelijen Inggris yang bodoh dan menjemukan. Namun cerita selanjutnya berbeda.
DGSE menunda-nunda keberangkatan Nasiri ke Afghanistan dari Dakar. Situasinya mungkin berubah. Berbulan-bulan Nasiri hidup dalam ketidakpastian.
Omar Nasiri Akhiri Petualangan di Jerman
Hal itu membulatkan tekadnya berhenti sebagai mata-mata. Ia ingin menikahi Fatima di Jerman. Usaha yang akan berlangsung penuh liku, menimbulkan penderitaan berat bagi Nasiri di Jerman.
Ia mengetahui banyak apa saja yang terjadi di kamp-kamp penting di Afghanistan. Pusat-pusat rekrutmen dan pelatihan yang tiga tahun selanjutnya akan dikenal sebagai kamp Al Qaeda.
Ia memahami setiap detil pemikiran para mentor politik, instruktur senjata dan peledak di kamp Khaldan dan Darunta.
Ia tahu Abu Zubayda jadi titik penting koordinasi Afghanistan dengan sel-sel Al Qaeda di Eropa. Tiga tahun berikutnya sejak ia tiba di Dakar, lalu hidup di Jerman, akan sangat menentukan.
Abu Zubayda menyiapkan orang-orang spesial dari segala penjuru Eropa, Arab dan Afrika Utara. Mereka sangat terdidik, berperilaku seperti umumnya orang barat.
Mereka selama ini hidup di Jerman, Belgia, Inggris, lalu direkrut untuk dilatih di Afghanistan. Sesudah itu mereka dikirim ke beberapa sekolah penerbangan di daratan AS.
Pentolan dari grup rekrutmen khusus ini adalah Muhammad Atta atau Mohamed Mohamed el-Amir Awad el-Sayed Atta. Dia orang Mesir yang kuliah di Hamburg, Jerman.
Tahun 2000, bersama teman dari Hamburg, Marwan al-Shehhi, mereka pergi ke Florida. Belajar mengemudikan pesawat di sebuah sekolah penerbangan.
Setahun sesudah itu, Atta dan al-Shehhi merampas kokpit pesawat Boeing 767—223ER American Airlines 11 yang lepas landas dari Bandara Logan di Boston menuju Los Angeles.
Atta membelokkan pesawat dan sengaja menabrakkannya ke menara kembar WTC. Nasiri melihat serangan itu sebagai buah dari aneka peristiwa kejam sejak era sebelumnya.
Omar Nasiri memahami alur pemikiran orang-orang yang melakukan kekerasan brutal itu. Ia mengerti begitu banyak gagasan di kamp-kamp pelatihan di Afghanistan.
Spiral kekerasan itu akan berlanjut, mungkin takkan berkesudahan. “”Siapapun yang mendukung musuh adalah lawan,” katanya.
“Ini adalah alur pemikiran jihad global, dan aku begitu membencinya,” ujar Nasiri yang berharap semua pihak mengakhiri campur tangan dan penguasaannya di negeri-negeri Muslim.
Omar Nasiri hanya satu dari tidak banyak orang yang pernah hidup di dua dunia sekaligus.
Sebagai mujahidin, sekaligus mata-mata asing yang menyusup ke jantung kaumnya.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga – Tamat)