Capres Demokrat Joe Biden Janjikan akan Gabung Perjanjian Iklim Paris 77 Hari Lagi
Joe Biden menjanjikan akan bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris 77 hari lagi atau di hari pertama dia menjadi presiden.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Joe Biden menjanjikan akan bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris 77 hari lagi atau di hari pertama dia menjadi presiden.
Seperti diketahui, Amerika Serikat keluar dari pakta/perjanjian iklim global pada Rabu (4/11/2020), sehari setelah Pilpres berlangsung.
Keputusan pemerintahan Donald Trump untuk keluar dari perjanjian iklim Paris ini menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara didunia yang mundur dari kesepakatan global tersebut.
VOX melaporkan, meski demikian, penghuni Gedung Putih berikutnya akna menentukan masa depan aksi internasional ini atas perubahan iklim.
Baca juga: Di Tengah Panasnya Pilpres, AS Secara Resmi Keluar dari Perjanjian Iklim Global
Baca juga: Sehari Setelah Pemilu 2020, AS Resmi Keluar dari Pakta Iklim Global
Bagian dari Janji Kampanye Trump 2016
Rupanya, menarik diri dari perjanjian iklim Paris merupakan satu di antara janji kampanye Donald Trump pada 2016 lalu.
Dia mengumumkan proses keluar dari perjanjian iklim Paris pada 1 Juni 2017 lalu.
Tetapi karena cara kerja perjanjian iklim tersebut, Amerika Serikat tidak dapat secara resmi menarik diri dari pakta tersebut hingga pekan ini.
Jika Trump terpilih kembali sebagai Presiden Amerika Serikat 2020-2024, Washington akan tetap di jalur itu dan mengamati dunia mengoordinasi tindakan perubahan iklim dari 'pinggir lapangan'.
Mulai saat ini, Amerika Serikat tidak akan memainkan peran dalam menentukan target pengurangan emisi karbon.
Amerika Serikat juga tidak lagi membantu negara-negara berpenghasilan rendah beradaptasi terhadap perubahan iklim, aturan lingkungan apa yang harus mengatur perdagangan dan sebagainya.
Ini bahkan bukan pertama kalinya Amerika Serikat menarik perubahan 180 derajat pada perjanjian iklim internasional.
Amerika Serikat sebagai negara terkaya di dunia dan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dalam sejarah, sebenarnya memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam negosiasi iklim internasional.
Baca juga: Perubahan Iklim Menghidupkan Kembali Tanaman Purba Sejak 60 Juta Tahun Lalu
Baca juga: Kadin Sambut Baik Jokowi Tanda Tangani UU Cipta Kerja, Iklim Usaha Lebih Kondusif
Pemerintahan Trump: Perjanjian Iklim Global Menuntut Terlalu Banyak dari AS
Secara terpisah, pemerintahan Trump berargumen bahwa persyaratan perjanjian Paris menuntut terlalu banyak dari AS.
Tetapi, perjanjian iklim terlalu sedikit (menuntut) negara seperti China yang telah menetapkan tujuan yang lemah, meski perjanjian tersebut memungkinkan negara-negara untuk menetapkan target mereka sendiri.
"Selama 15 tahun terakhir, emisi AS telah menurun sementara China terus meningkat," kata juru bicara Departemen Luar Negeri melalui email.
“China mengklaim statusnya sebagai 'negara berkembang' untuk menghindari memikul tanggung jawab yang adil untuk mengurangi emisi gas rumah kaca," terangnya.
"Meski emisi CO2 (Karbon dioksida) per kapita telah mencapai tingkat di banyak negara berpenghasilan tinggi," tegasnya.
Meskipun emisi gas rumah kaca global sedikit turun tahun ini karena pandemi, tren secara keseluruhan masih meningkat dan tidak menunjukkan tanda-tanda pembalikan.
Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer terus mencetak rekor baru setiap tahun.
Baca juga: Mobil Listrik Konsep Enpulse Akan Jadi Sport Car Tanpa Emisi Buatan China
Emisi Karbon...
Lebih jauh, meski Amerika Serikat mundur dari kesepakatan Paris, bagian dari dunia lain tengah meningkatkan ambisi mereka untuk perubahan iklim, dari Eropa hingga China.
Bahkan dengan pandemi Covid-19, negara-negara seperti Korea Selatan, Prancis, dan Italia mengambil tindakan yang lebih agresif untuk mengurangi gas rumah kaca.
Namun, beberapa target yang lebih ambisius di bawah perjanjian Paris, seperti menjaga rata-rata pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, hampir di luar jangkauan.
Kecuali, ada tindakan drastis dari pemerintah dan konsumen segera diambil.
Baca juga: PM Yoshihide Suga: Jepang Tetapkan Netral Karbon pada 2050
Baca juga: Pemerintah Dukung Pembangunan Rendah Karbon Melalui Joint Credit Mechanism
Perjuangan Perjanjian Iklim Paris
Lebih dalam, perjanjian iklim Paris memiliki kelemahan yang rapuh atau mengancam dapat runtuh sepenuhnya.
Pada tahun 2015, hampir setiap negara di dunia berkumpul di Paris dan menyetujui beberapa prinsip sederhana namun diperjuangkan dengan keras.
Yakni, Iklim berubah karena aktivitas manusia, dunia harus bertujuan untuk membatasi pemanasan hingga kurang dari 2 derajat Celcius, setiap negara memiliki kewajiban untuk bertindak, tetapi setiap negara dapat menetapkan tujuan mereka sendiri.
Persyaratan perjanjian iklim juga bersifat sukarela dan tidak memiliki kekuatan hukum (oleh karena itu disebut "pakta Paris" dan tidak mengikat secara hukum).
Tetapi persyaratan tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menciptakan banyak insentif untuk mendorong negara-negara berbuat lebih banyak,
Terutama untuk membatasi emisi gas penjebak panas mereka.
Pakta paris juga berisi beberapa dorongan untuk negara-negara yang bertindak lebih lambat.
Baca juga: Festival Iklim 2020, Usaha Diseminasi Informasi Kebijakan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia
Baca juga: KLHK-Disdikbud Rancang Kurikulum Terkait Perubahan Iklim Bagi Anak Sekolah
Pertemuan Perjanjian Iklim Global Selanjutnya
Gagasan perjanjian Paris membuat semua orang menyetujui serangkaian tujuan bersama dan memperkuat komitmen mereka dari waktu ke waktu.
Negara yang tergabung dalam perjanjian ini disatukan dalam pertemuan internasional berkala, untuk melihat di mana setiap orang berdiri dan menuntaskan aturan yang membosankan tentang bagaimana mengukur kemajuan.
Pertemuan selanjutnya dari para pihak dalam perjanjian Paris selama beberapa tahun terakhir telah terbukti mengecewakan.
Sedikit negara yang bersedia untuk meningkatkan target mereka dan perselisihan yang sedang berlangsung tentang rincian penting dari perjanjian tersebut.
Pertemuan tahun ini, yang rencananya akan diadakan di Glasgow di Inggris, tapi ditunda hingga 2021 karena pandemi.
Baca juga: Indonesia Terima RBP USD 103,78 Juta dari Global Climate Fund Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)