Donald Trump Hardik Joe Biden: Jangan Sembarang Klaim Telah Jadi Presiden
Donald Trump menghardik rivalnya Joe Biden setelah hasil sementara penghitungan suara Pilpres Amerika Serikat (AS) menunjukan dirinya kalah suara
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Donald Trump menghardik rivalnya Joe Biden setelah hasil sementara penghitungan suara Pilpres Amerika Serikat (AS) menunjukan dirinya kalah perolehan suara.
Donald Trump mengkritik Joe Biden untuk tidak sembarang mengklaim dirinya telah menjadi pemenang pemilihan Presiden Amerika Serikat.
Saat ini Joe Biden memimpin pada electoral collage.
Baca juga: Donald Trump Galang Dana Rp 852,6 Miliar Untuk Gugat Hasil Pemilu AS
Dia unggul dengan 264 electoral vote, sedangkan Donald Trump memiliki 214 electoral vote.
Joe Biden pun diambang menjadi Presiden AS jika menang di Pennsylvania.
Saat ini penghitungan di Pennsylvania sudah mencapai 98 persen, dan Biden memimpin tipis atas Donald Trump.
Biden mendapatkan 49,5 persen, sedangkan Donald Trump 49,3 persen.
Baca juga: Pilpres AS: Facebook Blokir Grup yang Menyerukan Angkat Senjata untuk Dukung Donald Trump
Pennsylvania sendiri memiliki 20 electoral vote.
Jika menang di Pennsylvania, Biden akan memiliki 284 electoral vote, sedangkan syarat untuk menang pemilihan presiden adalah memiliki 270 electoral vote.
Tampaknya, hal itu membuat Biden merasa yakin bisa menang.
Tak ayal, hal itu membuat Trump merasa kesal.
Baca juga: Hasil Pilpres AS: Joe Biden Sementara Unggul 4.430 Suara dari Trump di Georgia
“Joe Biden seharusnya tak sembarang klaim menjadi Presiden. Saya juga bisa mengklaim hal itu. Proses hukum baru saja dimulai,” cuitnya di Twitter dikutip dari NDTV.
Trump sendiri menuding pemilihan Presiden AS ini sarat dengan kecurangan dan manipulasi.
Dia pun menegaskan akan membawa masalah ini ke pengadilan.
Meski begitu, tuduhan yang dilontarkan Trump diyakini tak berdasar.
Ditentukan Electoral Collage
Pemilihan presiden Amerika Serikat ( pilpres AS) berlangsung pada 3 November 2020.
Sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik ( popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).
Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.
Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.
Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.
Kata "college" di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.
Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.
Bagaimana cara kerja Electoral College?
Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.
Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.
California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.
Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.
Biasanya negara bagian memberikan semua suara Dewan Elektoral untuk capres yang memenangkan suara dari popular votes.
Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.
Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.
Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode "distrik kongresional".
Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.
Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.
Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?
Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.
Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.
Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.
Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di kompas.tv dengan judul Semakin Terdesak, Trump Hardik Biden: Jangan Sembarang Klaim Telah Jadi Presiden