Kalah Pilpres, Donald Trump Terus-terusan Tulis Cuitan Menyesatkan tentang Hasil Pemilu
Dalam serangkaian cuitan di Twitter, Donald Trump terus mempertanyakan keabsahan penghitungan suara di Pennsylvania, Nevada, Georgia dan Wisconsin.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
Mereka harus mengikuti aturan yang sama seperti orang lain.
Jika tweet melanggar aturan itu, tweet itu akan dihapus.
Jika Trump terus melanggar aturan Twitter pasca-kepresidenan, akunnya dapat ditangguhkan.
"Pendekatan Twitter terhadap para pemimpin dunia, kandidat, dan pejabat publik didasarkan pada prinsip bahwa orang harus bisa memilih untuk melihat apa yang dikatakan pemimpin mereka dengan konteks yang jelas," kata seorang juru bicara kepada Guardian.
"Ini berarti bahwa kami dapat menerapkan peringatan dan label, dan membatasi keterlibatan pada Tweet tertentu."
"Kerangka kebijakan ini berlaku untuk para pemimpin dunia saat ini dan kandidat untuk jabatan, tapi bukan untuk warga negara ketika mereka tidak lagi memegang jabatan itu."
Sementara itu, anggota parlemen dan kelompok hak asasi manusia telah memperbarui seruan untuk menangguhkan akun Donald Trump bahkan sebelum kemungkinan transisi jabatan pada bulan Januari.
Pada hari Rabu, perwakilan Demokrat Gerry Connolly dari Virginia meminta di Twitter untuk menangguhkan akun Trump.
"Ini adalah disinformasi murni. Suara yang valid sedang dihitung. Ini Amerika, bukan Rusia," katanya menanggapi tweet Trump yang berisi dugaan kecurangan pemilu.
David Cicilline, seorang perwakilan dari Partai Demokrat dan Rhode Island, juga meminta Twitter untuk menangguhkan akun Trump karena "memposting kebohongan dan informasi yang salah dengan video yang dibuat-buat".
Sementara hari Kamis, Komite Pengacara untuk Civil Rights Under Law dan kelompok pengawas Common Cause mengirimkan surat untuk Jack Dorsey, CEO Twitter.
Mereka meminta akun Trump ditangguhkan sementara untuk mencegah penyebaran informasi yang salah tentang pemilu.
"Kami khawatir, jika tidak ada tindakan oleh Twitter, presiden mungkin berhasil dalam tujuannya untuk mendelegitimasi integritas proses demokrasi," tulis kelompok tersebut.
"Ini demi banyak orang, dan bukan hanya pengguna Twitter tetapi pemilih lain dan anggota masyarakat."
"Menabur ketidakpastian tentang pemungutan suara dan proses pemilihan, berpotensi memicu kekerasan terhadap pegawai negeri atau orang lain."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)