Tekanan AS dan Eropa Memaksa Turki Makin Dekat ke Rusia dan China
Washington telah menjatuhkan sanksi terhadap lima pejabat tinggi Turki, terkait pembelian sistem antirudal S-400 dari Rusia.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Seorang penulis dan analis politik bidang Asia Timur, Tom Fowdy, menilai sanksi keras AS dan Uni Eropa terhadap Turki, akan membawa Turki justru semakin dekat ke Rusia dan China.
Ulasan Tom Fowdy ini dimuat di laman media Russia Today, Selasa 915/12/2020) WIB. Fowdy menekankan, Tayyip Erdogan telah mengubah cukup dalam posisi Turki.
Washington telah menjatuhkan sanksi terhadap lima pejabat tinggi Turki, terkait pembelian sistem antirudal S-400 dari Rusia.
Keputusan Turki itu tak dikehendaki AS, mengingat klaim bahaya intelijen dan keamanan. AS kemudian mencoret Turki dari daftar pemesan jet tempur tercanggih F-35.
Baca juga: Pemerintah AS Hukum Lima Pejabat Turki, Ankara Bakal Melawan Washington
Baca juga: Eks PM Turki Tuduh Erdogan Khianati Turki Sesudah Jual Saham Bursa Efek Istanbul ke Qatar
Sementara Uni Eropa mengancam akan menghukum Turki terkait usaha penguasaan sumber minyak dan gas di Laut Tengah.
Perubahan Tren Global Meningkatnya Populisme
Posisi Turki terhitung sangat unik, karena ia anggota NATO, yang seharusnya mematuhi aturan-aturan dalam pakta militer tersebut.
Perselisihan tajam antara Turki dan AS serta Uni Eropa, menurut Tom Fowdy memperlihatkan kerenggangan geopolitik yang terus tumbuh di antara mereka.
“Ini adalah bagian dari tren global, di mana kebangkitan populisme telah menantang struktur aliansi yang dulunya dianggap ortodoks,” kata Fowdy.
“Pergeseran Ankara telah dipercepat pemerintahan Presiden Erdoğan dan meningkatnya otoritarianisme serta memperjuangkan nasionalisme Turki,” imbuhnya.
Sementara perselisihan antara Turki dan Yunani menurut Fowdy bukanlah hal baru. Namun perselisihan meluas Turki dengan Uni Eropa, AS, dan sanksi internal NATO menunjukkan titik terendah baru.
Dalam iklim geopolitik seperti itu, kemungkinan besar akan membuat Ankara membina hubungan yang lebih dekat dengan Beijing maupun Moskow.
Terpilihnya Erdogan pada 2014 menandai momen yang menentukan dalam sejarah Turki. Presiden telah menjauhkan negara dari ideologi Kemalis yang pro-barat dan berorientasi liberal.
Erdogan menawarkan apa yang telah digambarkan sebagai nasionalisme populis 'Neo-Ottoman' yang didasarkan pada pemerintahan orang kuat.