Tekanan AS dan Eropa Memaksa Turki Makin Dekat ke Rusia dan China
Washington telah menjatuhkan sanksi terhadap lima pejabat tinggi Turki, terkait pembelian sistem antirudal S-400 dari Rusia.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Cara itu dilakukan AS guna memaksa Turki kembali bekerjasama, dan terutama AS tidak ingin kehilangan monopoli (senjata) atas negara-negara NATO.
Turki bagaimanapun juga negara terbesar kedua di NATO, dan juga memiliki tentara terbesar kedua di blok itu setelah AS.
Namun, keadaan tidak akan membaik dalam waktu dekat. Realitasnya, situasi cenderung menjadi lebih buruk.
Sementara Trump menentang Turki dari sudut pandang kepentingan militer Amerika, dia tidak begitu tertarik urusan politik domestik Erdogan.
Di sisi lain, kemungkinan Presiden AS berikutnya. Joe Biden, akan tetap menjaga sikap keberatan Trump terhadap Turki.
Sisi lain, Biden yang berlatar liberal, akan menentang otoritarianisme yang dikembangkan Erdogan. Jika itu yang terjadi, sudah pasti Turki akan makin condong ke Rusia dan China.
Turki memiliki ketergantungan tinggi ke Beijing di sector perdagangan dan investasi. Erdogan pun menoleh ke China untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
Di sektor transportasi, pecan lalu kereta barang pertama memulai perjalanan dari Turki ke China di bawah inisiatif Belt and Road.
Tom Fowdy menggarisbawahi, situasi politik seperti ini membuat Turki tidak ingin terisolasi karena pengasingan sekutu barat.
Erdogan masih memiliki amunisi pamungkas jika Uni Eropa terus menekan mereka, yaitu membuka pintu lebar-lebar, yang memungkinkan jutaan migran bergerak ke Eropa.
Turki pada akhirnya akan terus menentang NATO, sembari memanfaatkan konflik itu untuk keuntungan mereka sendiri.
Sebaliknya, kerugian politik maupun ekonomi yang dialami Brussel dan Washington menurut Tom Fowdy, akan menjadi keuntungan Beijing dan Moskow.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)