Ledakan Bom di Addis Ababa Ethiopia Tewaskan Tiga Orang
Konflik meledak sejak 2019, ketika Tigray People's Liberation Front (TPLF) mundur dari koalisi pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, ADDIS ABABA – Sebuah bom meledak di Addis Ababa, ibu kota Ethiopia, menewaskan sekurangnya tiga orang, Minggu (20/12/2020).
Kantor berita Ethiopia melaporkan, ledakan terjadi di daerah Lideta, dekat pusat kota. "Penyelidikan sedang berlangsung, dan publik akan diberi tahu setelah penyelidikan selesai," kata pejabat Ethiopia.
Situasi di Ethiopia relatif tegang menyusul konflik militer antara pemerintah federal dan kelompok bersenjata di wilayah Tigray di utara negara itu.
Pertempuran merenggut ribuan nyawa, dan memaksa hampir satu juta orang mengungsi dari rumah mereka ke negara terdekat, antara lain Sudan.
Konflik meledak sejak 2019, ketika Tigray People's Liberation Front (TPLF) mundur dari koalisi pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed.
Baca juga: PM Ethiopia Klaim Pasukan Pemerintah Telah Kendalikan Ibu Kota Kekuasaan Tigray
Baca juga: Pengungsi Perang Tigray Bertahan Hidup dalam Pengasingan di Sudan
Baca juga: Konflik Ethiopia: Pemberontak Tigray Diduga Hancurkan Bandara, Diberi 72 Jam untuk Menyerahkan Diri
Otoritas regional menolak mengikuti perintah federal untuk menunda pemilihan di tengah pandemi virus corona.
Tigray mengadakan pemungutan suara, tetapi hasilnya tidak pernah diakui Addis Ababa. Pembangkangan itu berlanjut serangan terhadap pangkalan militer federal di Tigray.
Pemerintah pusat di Addis Ababa melancarkan operasi militer skala penuh sejak 4 November 2020 ke wilayah tersebut, dan menguasai kota-kotanya, termasuk ibu kota daerah Mekele.
Bersamaan kontrol oleh pemerintah pusat di Tigray, pemerintah Ethiopia mengumumkan hadiah 10 juta birr ($ 260.000) bagi yang mampu memberi informasi keberadaan pemimpin TPLF.
Sayembara itu diumumkan lewat media penyiaran yang dikelola pemerintah, dan kemudian dikonfirmasi satuan tugas krisis pemerintah di Twitter.
Petugas TPLF diduga bersembunyi di pegunungan sejak Mekelle, ibu kota wilayah itu, dikuasai kembali pasukan federal.
Tigray Minta Pemerintah Pusat Menarik Pasukan
Pemimpin pemberontak Tigray, Debretsion Gebremichael, telah meminta Perdana Menteri Abiy Ahmed menghentikan kegilaan, dan menarik pasukan dari wilayah Tigray.
Ia menegaskan pertempuran terus berlanjut di setiap front, dua hari setelah pemerintah mengumumkan kemenangan atas Mekelle.
Dalam wawancara telepon The Associated Press, Debretsion Gebremichael, mengklaim dirinya tetap berada di dekat Mekelle.
Arah perlawanan Tigray seperti dikatakannya, bergeser ke urusan penentuan nasib sendiri wilayah berpenduduk sekitar enam juta orang itu.
"Saya dekat dengan Mekelle di Tigray melawan penjajah," kata Gebremichael dikutip kantor berita Reuters melalui pesan teks. Pemerintah Ethiopia menyebut klaim itu palsu.
PM Abiy menyatakan, pasukan federal tidak membunuh satu warga sipil pun dalam serangan hampir sebulan mereka terhadap pasukan pemberontak di wilayah utara.
Malcolm Webb dari Al Jazeera, melaporkan dari ibu kota Kenya Nairobi, klaim Abiy bertentangan pernyataan TPLF. Banyak warga sipil terbunuh atau jadi korban serangan udara.
Klaim Kehadiran Tentara Eritrea di Tigray
Gebremichael juga mengatakan kepada Reuters, beberapa tentara Eritrea yang bertempur bersama pasukan federal Ethiopia, telah ditawan kelompoknya.
Belum ada komentar langsung dari pemerintah Eritrea, meskipun pada awal konflik yang berlangsung lebih dari tiga minggu, pihaknya membantah terlibat.
Klaim dari semua pihak sulit untuk diverifikasi karena sambungan telepon dan internet ke wilayah Tigray sebagian besar telah terputus. Aksesnya dikontrol ketat sejak perang dimulai pada 4 November.
Pada Minggu, sehari setelah Abiy mengumumkan kemenangan di wilayah utara, pasukan Tigray mengklaim menembak jatuh pesawat militer dan merebut kembali kota Axum dari pasukan federal.
Gebremichael mengatakan kepada Reuters pasukannya juga menangkap pilot pesawat militer tersebut. Belum ada komentar langsung dari pemerintah atau militer.
Pemerintah Ethiopia mencoba memadamkan pemberontakan TPLF, partai berbasis etnis yang kuat yang mendominasi pemerintah pusat selama hampir tiga dekade hingga Abiy berkuasa pada 2018.
Ribuan orang diyakini telah tewas sejak pertempuran itu dimulai, lebih dari 43.000 orang telah melarikan diri ke negara tetangga Sudan. Ada pula laporan milisi yang menyerang warga sipil.
Konflik telah menjadi ujian yang sulit bagi Abiy, seorang pemimpin yang berjanji untuk menyatukan berbagai kelompok etnis yang membentuk 115 juta penduduk Ethiopia.
Tetapi berulang kali menghadapi kekerasan di seluruh negeri. Arus pengungsi dan serangan roket oleh TPLF ke negara tetangga Eritrea juga mengancam stabilitas wilayah Tanduk Afrika yang lebih luas.(Tribunnews.com/Aljazeera/Sputniknews/Reuters/AP/xna)