Richard Barnett, seorang demonstran pendukung Presiden Amerika Serikat, Donald Trump duduk di ruang kerja Ketua DPR AS, Nancy Pelosi di Gedung Kongres US Capitol di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (6/1/2021) waktu setempat. Ribuan pendukung Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melakukan aksi demonstrasi dengan menyerbu dan menduduki Gedung Capitol untuk menolak pengesahan kemenangan Presiden terpilih Joe Biden atas Presiden Donald Trump dalam Pemilu Amerika 2020 lalu. Mereka menduduki Gedung Capitol setelah sebelumnya memecahkan jendela dan bentrok dengan polisi. AFP/Saul Loeb
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON DC - Kerusuhan massa pendukung Presiden Donald Trump yang menyerbu Gedung Capitol Amerika Serikat (AS) mengundang amarah Partai Republik yang notabene pendukung Trump.
CNN melaporkan, Semakin banyak pemimpin Partai Republik dan pejabat Kabinet Trump mengatakan, mereka percaya Donald Trump harus dicopot dari jabatannya sebelum 20 Januari 2020.
Empat dari mereka bahkan menyerukan Amandemen ke-25 dan dua lainnya mengatakan Presiden Trump harus diberhentikan. "Dia harus diberhentikan dan disingkirkan," kata seorang pejabat terpilih dari Partai Republik saat ini.
Seorang mantan pejabat senior mengatakan, tindakan Presiden Trump cukup mengerikan dan perlu menyingkirkannya meski dengan waktu yang singkat di sisa masa jabatannya.
"Saya pikir ini sangat mengejutkan sistem," kata mantan pejabat itu. "Bagaimana Anda menahannya selama dua minggu setelah ini?"
Dengan memakzulkan dan memberhentikan Trump, bahkan pada tahap akhir masa jabatannya, Senat AS kemudian dapat memberikan suara untuk mendiskualifikasi Trump agar tidak pernah memegang jabatan di pemerintahan lagi.
Di sisi lain, menerapkan Amandemen ke-25 akan mengharuskan Wakil Presiden Mike Pence dan mayoritas anggota Kabinet untuk memilih mencopot Trump dari jabatannya karena ketidakmampuannya untuk menjalankan kekuasaan dan tugas kantornya. Ini sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
BeritaRekomendasi
"Beberapa anggota Kabinet sedang mengadakan diskusi awal tentang penerapan Amandemen ke-25," kata sumber di Partai Republik kepada CNN.
Diskusi sedang berlangsung tetapi tidak jelas apakah akan ada cukup anggota Kabinet untuk menghasilkan pencopotan Trump.
Timbang copot Trump
Dalam beberapa menit setelah para pengunjuk rasa menyerbu Gedung Capitol pada Rabu sore (6/1), Partai Republik langsung menimbang gagasan untuk mengeluarkan Trump dari jabatannya, sebuah pilihan yang telah mereka lewati setahun yang lalu selama persidangan pemakzulan Trump tahun lalu.
Kecaman keras Trump juga belum pernah terjadi sebelumnya. Mantan Presiden George W. Bush, yang tidak pernah menonjolkan diri, mengeluarkan teguran keras dan menyebut "pemberontakan" di Gedung Capitol sebagai pemandangan yang memuakkan dan memilukan.
Meskipun tidak menyebut nama Trump, Bush mengatakan dia terkejut dengan perilaku sembrono dari beberapa pemimpin politik sejak pemilu dan oleh kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan untuk lembaga, tradisi dan penegakan hukum AS.
Mitt Romney, senator Utah yang merupakan satu-satunya Republikan yang memberikan suara untuk menghukum Presiden Trump atas sebuah pasal pemakzulan tahun lalu, menyebut Presiden Trump sebagai pria egois yang dengan sengaja memberikan informasi yang salah kepada para pendukungnya tentang pemilu.
Romney juga menyebut serangan di Capitol sebagai pemberontakan dan menyalahkan Trump. "Dia menggerakkan [pendukung] untuk bertindak pagi ini," ujarnya.
Anggora DPR dari Partai Republik Liz Cheney juga menyuarakan kemarahan pada Trump.
"Tidak diragukan lagi bahwa Presiden Trump membentuk massa. Presiden menghasut massa, Presiden berbicara kepada massa," kata Cheney di Fox News. "Dia menyalakan apinya."
Senator Tom Cotton dari Arkansas, sekutu setia Trump, tidak tanggung-tanggung. "Sudah lewat waktu bagi presiden untuk menerima hasil pemilu, berhenti menyesatkan rakyat Amerika, dan menolak kekerasan massa," kata Cotton.
Anggota Partai Republik lainnya di Capitol Hill juga marah kepada Presiden.
"Hentikan! Sudah berakhir. Pemilu sudah berakhir," kata Perwakilan Mike Gallagher dari Wisconsin kepada Jake Tapper dari CNN.
Empat orang tewas
Empat orang meninggal dan 52 ditangkap setelah para pendukung Presiden Donald Trump menyerbu gedung Capitol AS pada Rabu (6/1/2021) waktu setempat.
Aksi para pendukung itu dilakukan untuk menghentikan sidang Kongres untuk memberikan sertifikasi kemenangan kepada Presiden terpilih AS, Joe Biden.
Hal itu disampaikan Kepala Departemen Kepolisian Metropolitan Washington D.C, Robert J. Contee seperti dilansir Reuters, Kamis (7/1/2021).
Dalam konferensi pers larut malam, Robert J. Contee mengatakan 47 dari 52 orang yang ditangkap hingga saat ini terkait dengan pelanggaran jam malam yang diterbitkan Walikota Muriel Bowser.
Jam malam diberlakukan terhitung pukul 18.00 waktu setempat.
Beberapa orang lainnya ditangkap atas tuduhan membawa senjata api tanpa izin atau terlarang.
Selain itu, kata Contee, dua bom pipa ditemukan dari markas komite nasional partai Republik dan Demokrat, serta bom molotov ditemukan di lapangan Capitol AS.
Contee menolak untuk mengidentifikasi wanita yang tertembak dan tewas di gedung Capitol.
‘Tiga orang lainnya juga meninggal pada hari Rabu karena keadaan kritis,” tambahnya,
“Dan 14 polisi terluka - dua di antaranya tetap dirawat di rumah sakit.”
Tidak jelas apakah lembaga kepolisian federal atau lokal lainnya, termasuk Kepolisian Capitol, telah melakukan penangkapan tambahan.
Sebelumnya diberikan gas air mata dilepaskan ke kerumunan demonstran ketika bentrokan pecah dengan polisi di gedung Capitol .
Aksi unjuk rasa untuk mendesak DPR dan Senat membatalkan kemenangan Presiden terpilih AS Joe Biden.
DPR dan senat sedang bersidang untuk memberikan sertifikasi hasil pemilihan presiden AS 2020 oleh Kongres AS, di Gedung Capitol AS di Washington, 6 Januari 2021.