Analis Sebut Kudeta Myanmar karena Ambisi Pribadi Panglima Militer yang Merasa Hilang Rasa Hormat
Sudah sepekan Myanmar di bawah kekuasaan langsung militer pasca kudeta pada Senin (1/2/2021).
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Sudah sepekan Myanmar di bawah kekuasaan langsung militer pasca kudeta pada Senin (1/2/2021).
Pemandangan negara yang dulu dikenal dengan nama Burma ini pun berubah. Foto-foto pria berseragam militer mendominasi surat kabar.
Sejak 1962 hingga 2011, negara ini dikuasai tentara yang menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan menegaskan kekuasaan absolut melalui tindakan brutal.
Kemudian tepat enam tahun lalu, Aung San Suu Kyi membentuk pemerintahan sipil pertama dengan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) setelah menang telak dalam pemilihan.
Sayangnya, politik demokrasi Myanmar runtuh kembali pada Senin lalu, setelah pemimpin de facto Aung San Suu Kyi bersama pejabat sipil lainnya ditangkap militer.
Baca juga: Puluhan Ribu Masyarakat Myanmar Turun ke Jalan Protes Kudeta Militer di Hari Kedua
Baca juga: POPULER Internasional: Lagu Indonesia yang Disukai Myanmar | Artis di China Korban Malpraktik Oplas
Saluran berita pemerintah ditutup dan TV militer menyiarkan bahwa Panglima Tertinggi, Jenderal Min Aung Hlaing sekarang memimpin negara.
Militer menetapkan kondisi darurat selama 12 bulan sejak awal Januari lalu.
Militer menyebut kudeta dilakukan dengan menuding Suu Kyi melakukan kecurangan pemilu November 2020 lalu.
Diketahui Partai NLD menang telak pada pemilihan atas partai oposisi yang didukung militer.
Menurut analis, kudeta ini dilakukan karena ambisi pribadi seorang panglima militer yang merasa kehilangan kendali dan rasa hormat.
"Ini adalah perselisihan antara dua orang yang tidak diizinkan menjadi presiden dan keduanya menginginkannya: Aung San Suu Kyi dan panglima tertinggi."
"Dan dia (Panglima) menempatkan ambisi pribadinya di atas kebaikan militer dan kebaikan negara," kata analis yang berbasis di Yangon Richard Horsey, dikutip dari CNN.
Analis mengatakan hubungan Suu Kyi dan Min Aung Hlaing mulai memburuk sejak Suu Kyi menjabat pada 2015.
Hubungan itu semakin melemah akhir-akhir ini karena pembagian kekuasaan.
Min Aung Hlaing diketahui akan pensiun pada Juni nanti, tepat saat usianya 65 tahun.
Sehingga ahli menilai, mungkin Jenderal ini mengincar posisi presiden.
Sayangnya pada pemilu November 2020 Suu Kyi menang dengan 83 persen suara, menandakan penolakan kuat terhadap militer.
Latar Belakang Militer Myanmar atau Tatmadaw
Militer Myanmar atau dikenal sebagai Tatmadaw diketahui tidak pernah benar-benar menyerahkan kekuasaan politiknya.
Lebih dari satu dekade yang lalu, para panglima militer membuat rencana untuk mengadakan pemilu, meliberalisasi ekonomi, dan transisi ke semi-demokrasi sambil tetap mempertahankan otoritas mereka.
Di bawah Konstitusi 2008, militer otomatis mendapat seperempat kursi di Parlemen.
Militer juga bisa memberikan hak veto atas amandemen konstitusi dan para jenderal berhak memegang kendali tiga kementerian utama yakni pertahanan, perbatasan, dan urusan dalam negeri.
Selama 50 tahun, militer adalah institusi paling kuat di Myanmar.
Tentara memiliki kendali atas pemerintahan, ekonomi, dan setiap aspek kehidupan.
Namun militer menyebabkan konflik ras dengan etnis minoritas Rohingya hingga menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.
Badan HAM Internasional sudah lama mengendus kekejaman tentara Myanmar kepada kelompok etnis ini, seperti pemerkosaan, penyiksaan, dan kejahatan perang lainnya.
Serangkaian diktator militer yang kejam mengubah Myanmar menjadi negara pariah.
Jenderal Ne Win, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1962, menjerumuskan negara ke dalam kemiskinan dengan kebijakan ekonomi dan sosialisnya.
Jenderal itu diduga membuat kebijakan berdasarkan saran para astrolog dan melakukan demonetisasi beberapa denominasi besar mata uang Myanmar, menggantinya dengan uang kertas yang berjumlah sembilan.
Alhasil tabungan warga habis dalam semalam.
Pengganti Jenderal Ne Win dijuluki "Jagal Rangoon" karena penindasan brutal terhadap demonstrasi pro-demokrasi massal di ibu kota saat itu selama akhir 1980-an.
Min Aung Hlaing, yang terpilih sebagai panglima tertinggi saat transisi demokrasi pada 2011 bertanggung jawab atas kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Baca juga: Ajudan Suu Kyi Ditangkap saat Anggota Parlemen Mengadakan Pertemuan Simbolik
Baca juga: Kudeta Myanmar: Internet Diblokir, Aksi Protes Turun ke Jalan
Sekitar 720.000 orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah tindakan keras pada 2016 dan 2017.
PBB mengatakan serangan militer memiliki 'niat genosida', namun hal ini dibantah militer dengan mengatakan mereka menargetkan teroris.
Pada 2019, Amerika Serikat memberi sanksi kepada Min Aung Hlaing atas pelanggaran HAM terkait etnis Rohingya.
Militer Myanmar dilaporkan sangat kaya. Mereka mengendalikan jaringan perusahaan dengan hubungan ke industri pertambangan batu giok dan ruby, tembakau, bir, manufaktur, pariwisata, perbankan, dan transportasi.
Tahun lalu, penyelidikan Amnesty International menemukan bahwa hampir setiap unit militer memiliki saham di Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL).
Kemudian laporan PBB pada 2019 mengatakan bahwa militer menggunakan bisnis untuk mendukung operasi terhadap kelompok etnis.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)