Masuki Hari Keenam, Gelombang Unjuk Rasa dan Mogok Kerja di Myanmar Terus Bertambah
Gelombang warga dan pekerja yang melakukan demonstrasi terus bertambah memasuki hari keenam, Kamis (11/2/2021) di Myanmar.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Gelombang warga dan pekerja yang melakukan demonstrasi terus bertambah memasuki hari keenam, Kamis (11/2/2021) di Myanmar.
Ini merupakan 'Gerakan Pembangkangan Sipil' untuk menentang kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi.
Bahkan ratusan pekerja melakukan mogok kerja dan turut berbaris di jalan di ibukota Naypyitaw, Myanmar untuk mendukung Gerakan Pembangkangan Sipil.
Mereka melantunkan slogan-slogan anti-junta militer.
Juga membawa plakat bertuliskan "tolak kudeta militer" dan "selamatkan Myanmar".
Beberapa mengangkat gambar Suu Kyi dengan kata-kata, "Kami mempercayai pemimpin kami."
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Umumkan Sanksi Baru Terhadap Para Jenderal Myanmar yang Lakukan Kudeta
Setelah seorang wanita ditembak dalam bentrokan kekerasan dalam aksi demonstrasi pada Selasa lalu, tidak menyurutkan mereka untuk terus turun ke jalan.
Bahkan pada Rabu (9/2/2021) kemarin, demonstran melakukan aksi secara meriah, dengan telanjang dada, wanita dengan gaun bola dan gaun pengantin, petani dengan traktor dan orang-orang dengan hewan peliharaan mereka.
Sebelumnya pada selasa (8/2/2021), Polisi bersikap respresif terhadap demonstran yang menolak pengambil-alihan kekuasaan dari pemerintahan yang sah di bawah Aung San Suu Kyi.
Polisi melakukan tindak kekerasaan saat membubarkan demonstran, dan melakukan penembakan.
Seorang dokter mengatakan satu wanita mengalami luka tembak di bagian kepala. Dokter mengatakan wanita itu sedang kritis dan tidak mungkin selamat.
Tiga orang lainnya sedang dirawat karena luka akibat tertembak peluru karet yang diduga terjadi setelah polisi menembak pendemo. Kejadian ini terjadi setelah sebelumnya polisi menembakkan meriam air untuk mencoba membubarkan demonstran di ibukota Naypyitaw.
Televisi pemerintah melaporkan korban luka-luka juga ada di pihak polisi selama upaya mereka untuk membubarkan demonstran. Laporan ini membenarkan terjadinya bentokam keras antara polisi dan demonstran di negara itu.
Insiden ini menandai pertumpahan darah pertama sejak militer, yang dipimpin oleh panglima angkatan bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintahan Suu Kyi yang baru terpilih pada 1 Februari dan menahannya bersama politisi lain dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Militer menuduh bahwa NLD menang dengan kecurangan - tuduhan yang dibantah oleh komite pemilihan umum.
Pada Selasa (9/2/2021) malam, polisi di Myanmar melakukan penggerebekan di markas NLD di Yangon, kata dua anggota parlemen NLD terpilih.
Penggerebekan dilakukan oleh belasan personel polisi, yang memaksa masuk ke kantor NLD.
Demonstrasi ini adalah yang terbesar di Myanmar selama lebih dari satu dekade, menghidupkan kembali kenangan hampir setengah abad lalu ketika pemerintahan militer melakukan tindakan represif dalam pemberontakan berdarah sampai militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan kepada pasukan keamanan Myanmar untuk menghormati hak rakyat untuk berunjuk rasa secara damai.
"Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap demonstran tidak dapat diterima," ujar Perwakilan PBB di Myanmar, Ola Almgren.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan sedang meninjau bantuan ke Myanmar untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kudeta menghadapi "konsekuensi signifikan".
Luka Fatal di Kepala
Menurut laporan dari Naypyitaw, Mandalay dan kota-kota lain, banyak demonstran telah terluka, beberapa dari mereka menderita luka serius, oleh pasukan keamanan.
Seorang dokter di rumah sakit Naypyitaw mengatakan wanita yang ditembak itu telah menderita luka di kepala yang fatal.
"Dia belum meninggal, dia berada di unit gawat darurat, tetapi 100 persen yakin cedera itu fatal," kata dokter, yang menolak untuk disebutkan namanya.
"Menurut X-ray, itu peluru asli," katanya.
Baik polisi maupun rumah sakit tidak menanggapi permintaan komentar.
Seorang pria mengalami luka di dada tetapi tidak dalam kondisi kritis.
“Masih belum jelas apakah dia terkena peluru asli atau peluru karet,” kata dokter.
Berita MRTV yang dikelola pemerintahan miloiter mengatakan sebuah truk polisi telah dihancurkan para demonstran di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar. MRTV menunjukkan rekaman akibatnya, termasuk polisi yang terluka.
MRTV menggambarkan aksi protes tersebut diorkestrasi oleh orang-orang yang ingin membahayakan stabilitas bangsa dan telah bertindak agresif. MRTV tidak menyebutkan kudeta atau demonstrasi lain di seluruh negeri.
Sebelumnya, para saksi mengatakan polisi menembak ke udara di Naypyitaw untuk membubarkan demonstrasi. Polisi kemudian menembakkan meriam air, sementara para demonstran merespons dengan melemparkan batu, kata seorang saksi mata.
Video dari kota Bago, timur laut pusat komersial Yangon, menunjukkan polisi menghadapi kerumunan besar dan membubarkan dmereka dengan meriam air.
Polisi menangkap setidaknya 27 demonstran di kota terbesar kedua Mandalay, termasuk seorang jurnalis, kata organisasi media domestik.
Kerusuhan telah menghidupkan kembali kenangan hampir setengah abad pemerintahan militer yang memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011, meskipun tidak pernah menyerahkan kendali keseluruhannya atas pemerintahan sipil Suu Kyi setelah memenangkan pemilu 2015.
"Kami akan terus berjuang," kata aktivis pemuda Maung Saungkha dalam sebuah pernyataan, yang seraya menyerukan pembebasan tahanan politik dan berakhirnya "kediktatoran" militer.
Para aktivis juga berjuang penghapusan konstitusi tahun 2008 yang disusun di bawah pengawasan militer yang memberi para jenderal hak veto di parlemen dan mengendalikan beberapa kementerian, dan untuk sistem federal di Myanmar yang beragam secara etnis.
Generasi aktivis yang lebih tua yang berhadapan dengan militer dalam protes berdarah 1988 lalu menyerukan aksi mogok para pekerja pemerintah selama tiga minggu.
Gerakan pembangkangan sipil, yang dipimpin oleh pekerja rumah sakit, telah mengakibatkan terjun bebasnya angka pengujian virus corona di Myanmar.
Myanmar telah menjadi salah satu negara dengan wabah virus corona terburuk di Asia Tenggara dengan 31.177 kasus kematian, dari lebih dari 141.000 kasus.(Reuters/AP)