Tindakan Militer AS Pertama di Bawah Perintah Biden Tuai Kritik
Otorisasi Presiden AS Joe Biden atas serangan udara militer di Suriah timur pada Kamis (25/2/2021) telah menuai kecaman di Timur Tengah.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Otorisasi Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden atas serangan udara militer di Suriah timur pada Kamis (25/2/2021) telah menuai kecaman di Timur Tengah.
Militer AS menyatakan telah melakukan serangan terukur terhadap fasilitas di Suriah timur yang digunakan oleh milisi yang didukung Iran.
Mengutip Al Jazeera, serangan ini merupakan tanggapan atas serangan roket terhadap sasaran AS di Irak.
"Serangan udara itu disengaja dan ditujukan untuk mengurangi situasi keseluruhan di Suriah timur dan Irak," kata juru bicara Pentagon John Kirby mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden dan Raja Salman Bahas Upaya Diplomatik untuk Mengakhiri Perang Yaman
Baca juga: Presiden Biden Telepon Raja Salman, Bahas Pengakhiran Perang Yaman
Sama seperti Trump
Beberapa komentator menarik perbedaan jelas antara Biden dan pendahulunya Donald Trump.
Seyyed Mohammad Marandi, seorang profesor sastra Inggris dan orientalisme di Universitas Teheran mengatakan, langkah tersebut menunjukkan bagaimana Biden dan Trump sama.
Suriah menyebut serangan udara yang dimaksud sebagai pengecut.
Pihak terkait juga mendesak Biden untuk tidak mengikuti "hukum rimba".
"Suriah mengutuk keras serangan pengecut AS di daerah-daerah di Deir al-Zor dekat perbatasan Suriah-Irak," kata Kementerian Luar Negeri Suriah dalam sebuah pernyataan.
"Itu (pemerintahan Biden) seharusnya berpegang pada legitimasi internasional, bukan pada hukum rimba seperti (yang dilakukan) pemerintahan sebelumnya," tegasnya.
Baca juga: Presiden Joe Biden Perintahkan Gempur Kelompok Anti-ISIS di Suriah Timur
Media pemerintah Iran melaporkan, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan, serangan udara itu adalah "agresi ilegal" dan pelanggaran hak asasi manusia serta hukum internasional.
Jurnalis AS Ayman Moyeldin membuat garis waktu untuk menunjukkan kesamaan antara langkah Biden dan beberapa mantan presiden AS.
AS telah lama dikritik karena intervensi militer di beberapa negara mayoritas Muslim seperti Irak dan Libya dan memaksakan perubahan rezim yang menyebabkan kekacauan politik dan ketidakstabilan.
Tidak De-eskalasi
Langkah itu juga mendapat juga mendapat kecaman di AS.
Hillary Mann Leverett, CEO dari konsultan risiko politik Stratega, mengatakan meski serangan udara mengirimkan pesan tentang kesetiaan pemerintahan Biden di kawasan itu, namun hal tersebut tidak akan meredakan situasi di Timur Tengah.
"Pemerintahan Biden mencoba menggambarkan serangan militer pertama ini sebagaimana diukur dengan berkonsultasi dengan sekutu," katanya.
"Faktanya, itu menandakan pesan yang sangat kuat kepada Iran bahwa pemerintahan Biden sebenarnya berusaha meningkatkan tekanan dan pengaruhnya terhadap Iran," tambahnya.
Serangan roket terhadap posisi AS di Irak dilakukan ketika Washington dan Teheran mencari cara untuk kembali ke kesepakatan nuklir 2015 yang ditinggalkan oleh mantan Presiden AS Trump.
Tidak jelas bagaimana, atau apakah, serangan itu dapat memengaruhi upaya AS untuk membujuk Iran kembali ke negosiasi tentang kedua belah pihak untuk melanjutkan kepatuhan terhadap perjanjian tersebut.
Baca juga: Departemen Luar Negeri AS: Biden Bersedia Berbicara dengan Iran Soal Kembali ke Kesepakatan Nuklir
Mary Ellen O'Connell, seorang profesor di Sekolah Hukum Notre Dame, mengkritik serangan AS sebagai pelanggaran hukum internasional.
"Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memperjelas bahwa penggunaan kekuatan militer di wilayah negara berdaulat asing adalah sah hanya sebagai tanggapan atas serangan bersenjata di negara pertahanan yang menjadi tanggung jawab negara sasaran," katanya.
"Tak satu pun dari elemen itu terpenuhi dalam serangan Suriah," ucapnya.
Justin Amash, seorang pengacara AS yang sebelumnya menjabat sebagai perwakilan untuk distrik kongres ke-3 Michigan mengatakan langkah itu tidak konstitusional.
Tetap saja, beberapa pengamat menunjukkan dukungan untuk serangan udara tersebut.
Perwakilan Michael McCaul, petinggi Republik di Komite Urusan Luar Negeri DPR, mengatakan serangan itu adalah langkah yang tepat.
";Tanggapan seperti ini adalah pencegahan yang diperlukan dan mengingatkan Iran, proksi, dan musuh kita di seluruh dunia bahwa serangan terhadap kepentingan AS tidak akan ditoleransi," kata McCaul.
Suzanne Maloney, dari lembaga pemikir Brookings Institution, mengatakan serangan itu menunjukkan pemerintahan Biden dapat bernegosiasi dengan Iran mengenai kesepakatan nuklir sambil mendorong balik milisi yang didukungnya.
"Langkah yang bagu. Biden (pemerintahan) yang mendemonstrasikan AS dapat berjalan dan mengunyah permen karet pada saat yang bersamaan," katanya di Twitter.
Baca juga: Soal Pandemi, Anthony Fauci Berharap Hari Natal Bisa Kembali Normal, Sejalan dengan Target Biden
Sebelumnya, dalam serangan 15 Februari, roket menghantam pangkalan militer AS yang bertempat di Bandara Internasional Erbil di wilayah yang dikelola Kurdi.
Akibatnya, seorang kontraktor non-Amerika dan melukai sejumlah kontraktor Amerika dan seorang anggota layanan AS tewas.
Serangan lain menghantam pangkalan yang menampung pasukan AS di utara Baghdad beberapa hari kemudian, melukai setidaknya satu kontraktor.
Roket menghantam Zona Hijau Baghdad pada hari Senin, yang menampung kedutaan AS dan misi diplomatik lainnya.
Awal pekan ini, kelompok Kata'ib Hezbollah, salah satu kelompok milisi utama Irak yang berpihak pada Iran, membantah berperan dalam serangan roket tersebut.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.