Demonstran Myanmar Lawan Senjata Militer dengan Rok dan Pakaian Dalam Perempuan
Aparat memakai peluru karet, gas air mata, meriam air, hingga yang paling parah adalah penggunaan peluru tajam.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, NAYPYIDAW - Demonstran menggunakan kepercayaan lama, yakni menggantungkan pakaian dalam dan rok perempuan, demi menghalau militer Myanmar.
Negara Asia Tenggara itu berada dalam situasi panas, sejak militer melakukan kudeta pada 1 Februari.
Ratusan ribu rakyat pun turun ke jalan melakukan protes, yang dibalas oleh junta menggunakan kekerasan.
Aparat memakai peluru karet, gas air mata, meriam air, hingga yang paling parah adalah penggunaan peluru tajam.
Meski begitu, demonstran tak kekurangan taktik untuk melawan pasukan keamanan Myanmar tanpa menggunakan senjata.
Femonstran menjemur pakaian dalam dan rok panjang perempuan, dikenal sebagai longyi, di melintasi jalan.
Baca juga: Junta Militer Bongkar Makam Angel, Gadis Myanmar yang Tewas Ditembak
Merujuk pada takhayul setempat, pakaian yang menutupi tubuh bagian bawah wanita bisa mengisap kekuatan pria, atau hpone, jika tersentuh.
"Jika mereka sampai melewati longyi itu, maka hpone mereka akan meredup," kata aktivis Thinzar Shunlei Yi.
Dia mengatakan, pasukan pun tak bisa bergerak maju jika massa sudah memasang, dan terpaksa harus menurunkannya.
Namun, beberapa tentara dilaporkan takut untuk menyentuh baju itu karena yakin bisa menghancurkan kekuatan mereka.
Karena itu, para perempuan mulai menggunakannya sebagai senjata, dengan pemandangan tersebut muncul di seantero Yangon.
Mulai dari kawasan San Chaung hingga pinggiran. Membuat seorang prajurit harus berdiri di atas truk guna mencopotnya.
Bahkan, ada longyi yang kini dipasangi pemimpin junta militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Ada juga yang menaruh wajah Min di tanah kawasan perdagangan. Membuat aparat tentu berpikir dua kali saat menginjaknya.
"Menunda kekerasan"
Dilansir AFP Jumat (5/3/2021), Yangon, mantan ibu kota Myanmar, menjadi berbeda sejak aksi menentang kudeta terjadi.
Barikade darurat kini jadi pemandangan biasa, di mana massa menumpuk batu bata, ban bekas, hingga kawat berduri.
Beberapa kawasan di sana seakan menjadi zona perang setiap hari, karena demonstran berusaha mencegat konvoi penegak hukum.
Kantong plastik penuh berisi air terus mengalir ke zona merah untuk mengurangi efek terkena gas air mata.
Sejumlah orang juga siap membawa ember berisi air dan lap basah, untuk membungkus tabung gas air mata.
Ada juga yang memegang cermin sebagai perisai, dan berharap pihak berwenang kebingungan ketika menyerang.
Jika mereka mulai dikejar, massa akan menyemprotkan isi alat pemadam apo. Memberi waktu yang cukup ke rute pelarian.
Thinzar menerangkan meski mereka meminjam taktik unjuk rasa di Hong Kong dan Thailand, di lapangan tetap berbeda.
Dia menuturkan sampai saat ini, mereka masih berpegang teguh untuk tak menggunakan kekerasan, dan memastikan aparat tak melukai mereka.
Menurut catatan PBB, lebih dari 50 orang tewas di mana muncul video memperlihatkan pengunjuk rasa ditembak di kepala.
Salah satunya adalah Kyal Sin, gadis 19 tahun yang tewas di Mandalay pada Rabu (3/3/2021), saat memakai kaus "segalanya akan baik-baik saja".