Rusia Sebut Sanksi Akan Mendorong Myanmar Menuju Perang Saudara
"Ancaman dan tekanan, termasuk penggunaan sanksi terhadap otoritas Myanmar saat ini, sia-sia dan sangat berbahaya," kata kementerian luar negeri Rusia
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW—Rusia mengatakan sanksi terhadap elite junta militer Myanmar sia-sia, sangat berbahaya dan pada akhirnya dapat mendorong negara itu menuju perang saudara.
Hal itu disampaikan Kremlin seperti dilaporkan kantor berita Interfax, Rabu (7/4/2021).
"Ancaman dan tekanan, termasuk penggunaan sanksi terhadap otoritas Myanmar saat ini, sia-sia dan sangat berbahaya," kata kementerian luar negeri Rusia seperti dikutip Reuters.
"Bahkan, hal seperti itu berkontribusi untuk mengadu domba satu sama lain dan, pada akhirnya, mendorong rakyat Myanmar menuju konflik sipil skala penuh."
Baca juga: Peran Aktif Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Krisis di Myanmar
Myanmar telah diguncang oleh aksi protes sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu, membuat klaim kecurangan yang tidak berdasar dalam pemilu pada November 2020.
Kudeta dan tindakan keras berikutnya telah menyebabkan sanksi dari negara-negara Barat pada militer dan bisnisnya.
Kremlin telah menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya jumlah kematian warga sipil di Myanmar. Setidaknya 564 orang tewas di tangan pasukan keamanan sejak kudeta membawa junta militer berkuasa.
Namun, wakil menteri pertahanan Rusia bertemu pemimpin junta militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing di ibukota Naypyitaw bulan lalu, menarik kritik keras dari aktivis hak-hak yang menuduh Moskow mendukung junta.
Baca juga: Demonstran Myanmar Jadikan Telur Paskah Simbol Pembangkangan Sipil
AS Siapkan Sanksi Terbaru
Amerika Serikat berencana menjatuhkan sanksi kepada dua konglomerat yang dikendalikan junta militer Myanmar atas kudeta 1 Februari lalu dan tindakan kekerasan mematikan terhadap demonstran.
Hal itu disampaikan dua sumber seperti dilansir Reuters, Kamis (25/3/2021).
Langkah Kementerian Keuangan AS untuk untuk memasukkan Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL) dalam daftar hitam.
AS juga akan membekukan apa pun aset yang mereka miliki di Amerika Serikat.
Para jenderal Myanmar melakukan pengambilalihan kekuasaan pada hari pertama parlemen bersidang pada bulan Februari, menahan para pemimpin sipil termasuk penerima Nobel Aung San Suu Kyi, yang partainya memenangkan pemilu pada bulan November.
Militer mengklaim ada kecurangan pemilih tetapi para pengamat mengatakan tidak ada penyimpangan yang signifikan.
Presiden AS Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif pada 11 Februari membuka jalan bagi sanksi baru terhadap militer Myanmar dan kepentingannya. Perintah itu membekukan sekitar 1 miliar dolar AS cadangan bank sentral Myanmar di New York Fed.
Amerika Serikat dan Inggris, serta Uni Eropa dan Kanada, telah menjatuhkan beberapa sanksi terhadap jenderal-jenderal top termasuk Panglima Min Aung Hlaing dan anak-anaknya.
Selain tiga perusahaan batu permata yang terkena sanksi AS pada Februari dan Departemen Perdagangan AS memasukkan daftar hitam terhadap konglomerat.
Militer mengendalikan perekonomian Myanmar yang luas melalui perusahaan induk dan anak perusahaan mereka, dengan minat mulai dari bir dan rokok hingga telekomunikasi, ban, pertambangan, dan real estat.
Para aktivis telah menyerukan sanksi untuk menghabiskan pendapatan militer, dan ingin pemerintah AS melangkah lebih jauh dan memukul proyek minyak dan gas yang merupakan sumber pendapatan utama ke Myanmar.
Kepala Polisi Myanmar Ikut Masuk Daftar Hitam
Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sanksi terbarunya, Senin (23/3/2021).
Seperti dilansir Reuters, Senin (23/3/2021), Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada dua anggota junta penguasa Myanmar, termasuk kepala polisi, dan elite operasi khusus militer terkait dengan penindasan mematikan terhadap para demonstran anti kudeta.
Pemerintahan Presiden Joe Biden telah mem-blacklist elite junta militer dan beberapa perusahaan milik militer, tetapi militer menolak untuk mengubah arah dan semakin menggunakan kekerasan terhadap demonstran anti-kudeta.
"Tindakan hari ini mengirimkan sinyal kuat bahwa kami akan menindaklanjuti janji kami untuk terus mengambil tindakan terhadap pemimpin kudeta dan mereka yang melakukan kekerasan," kata Menteri Luar Negeri Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
Tindakan AS datang setelah Uni Eropa menjatuhkan sanksi pada Senin pada 11 orang yang terkait dengan kudeta 1 Februari di Myanmar.
Tindakan Departenmen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada Than Hlaing, seorang perwira militer yang ditunjuk untuk memimpin kepolisian setelah kudeta, dan Letnan Jenderal Aung Soe, seorang komandan operasi khusus yang bertanggung jawab atas tindakan keras dan brutal aparat keamanan.
Langkah itu pada dasarnya membekukan aset AS dari mereka yang masuk daftar hitam dan umumnya menghalangi warga Amerika berurusan dengan mereka.
Kementerian Keuangan juga menjatuhkan sanksi kepada Divisi Infanteri Cahaya ke-77 angkatan darat dan Divisi Infanteri Cahaya ke-33, yang telah dikerahkan untuk menangani demonstrasi anti-kudeta di kota terbesar, Yangon, dan kota kedua Mandalay.
"Rekaman video menunjukkan pasukan keamanan mengendarai truk pickup sementara tampaknya tanpa pandang bulu menembakkan peluru tajam ke berbagai arah, termasuk ke rumah-rumah warga," kata Departemen Keuangan tentang tindakan keras aparat keamanan Muyanmar.(Reuters)