Guru Besar UI Ungkap Makna No Vote atau Against oleh Indonesia Terkait R2P di Sidang PBB
keputusan Indonesia dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu yang memberi No Vote atau Against telah disalah-pah
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan keputusan Indonesia dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu yang memberi No Vote atau Against telah disalah-pahami oleh berbagai pihak.
Seolah Indonesia tidak mendukung Konsep Responsibility to Protect (R2P) yaitu konsep dimana negara-negara dapat melakukan penggunaan kekerasan terhadap suatu negara dikala pemerintahan negara tersebut melakukan kejahatan internasional terhadap warganya sendiri.
Bahkan pihak-pihak tertentu mengkaitkan dengan peristiwa kekerasan oleh Israel terhadap rakyat Palestina.
“Perlu disayangkan isu ini kemudian di Indonesia dijadikan komoditas politik seolah pemerintah Indonesia tidak mendukung penghentian kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina,” ujar Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) ini kepada Tribunnews.com, Jumat (21/5/20210).
Bahkan Amnesty International Indonesia menyayangkan tindakan Indonesia karena menganggap Indonesia tidak mendukung R2P. Sebuah pernyataan yang tidak melihat persoalan mendasar apa yang menjadi agenda pembahasan.
“Indonesia adalah pendukung R2P sejak pembahasan di tahun 2005. Bahkan Indonesia telah memiliki UU Pengadilan HAM yang mengkriminalkan pejabat pemerintah yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida,” jelas Hikmahanto.
Bila mencermati mata agenda pembahasan di Sidang Umum PBB, menurut dia, ada tiga hal yang perlu dipahami.
Pertama, mata agenda pembahasan R2P terkait masalah prosedural bukan substansi dari R2P.
Adapun prosedur yang ditawarkan adalah membahas agenda R2P setiap tahunnya dalam Sidang Majelis Umum PBB atau meneruskan pembahasan R2P yang dimunculkan sejak tahun 2005.
Indonesia dalam hal ini menentang (against) pembahasan tahunan karena tidak ingin menafikan pembahasan sejak 2005. Terlebih lagi bila pembahasan dimulai dari nol.
Bagi Indonesia apa yang sudah dimulai harua diteruskan.
Baca juga: Kemlu Jawab Simpang Siur ‘Vote No’ Indonesia di Sidang PBB Terkait Genosida dan R2P
Namun Indonesia kalah suara dan dengan sendirinya suara terbanyak yang menang. Perlu diketahui dalam mekanisme yang berlaku di Majelis Umum PBB maka berlaku satu negara memilki satu suara. Oleh karenanya suara mayoritas menjadi keputusan Majelis Umum PBB.
Kedua, dalam pembahasan agenda R2P di Majelis Umum tidak menyetuh masalah substansi atau materi dari R2P.
“Sekali lagi yang dibahas hanya berkaitan masalah prosedur pembahasan, apakah dilakukan setiap tahun atau meneruskan yang sudah dilakukan,” tegasnya.
Terakhir, pembahasan R2P kemarin sama sekali tidak terkait masalah kekerasan yang terjadi di tanah Palestina.
Indonesia dan pemerintahnya telah berkomitmen untuk mendukung rakyat Palestina yang tertindas dalam memperoleh kemerdekaannya.
Sangat disayangkan tindakan UN Watch yang mengkatagorikan negara-negara anggota PBB yang tidak setuju pembahasan tahunan terhadap R2P dalam 'Daftar Malu' (List of Shame).
“Tidak jelas apa yang dimaksud dan apa yang menjadi kriteria peng-katagorisasi-an oleh UN Watch sehingga negara anggota PBB dimasukkan dalam Daftar Malu tersebut,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia menolak resolusi Sidang Umum PBB tentang tanggung jawab untuk melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mengutip VOA Indonesia, Kamis (20/5/2021), dilaporkan dalam pemungutan suara yang berlangsung di markas besar PBB di Kota New York, Amerika Serikat, Selasa lalu, 115 negara menyatakan mendukung, 15 negara menolak, dan 28 negara lainnya memilih abstain.
Selain Indonesia, yang juga menolak resolusi itu adalah Korea Utara, Kirgistan, Nikaragua, Zimbabwe, Venezuela, Burundi, Belarusia, Eritrea, Bolivia, Rusia, Cina, Mesir, Kuba, dan Suriah.
Dalam penjelasannya, Kamis (20/5/2021), Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard, menegaskan Indonesia bukannya menolak pembahasan isu pencegahan genosida dan kejahatan perang, melainkan menentang isu yang bersifat prosedural.
Menurut Febrian, resolusi R2P (Responsibility to Protect) yang dihasilkan pada KTT Dunia 2005 sudah dibahas dalam Sidang Majelis Umum PBB sejak 2009 di bawah mata agenda bernama Hasil dari KTT Dunia 2005.
Kemudian pada 2017, Australia dan Ghana meminta supaya R2P dimasukkan dalam agenda tambahan secara khusus dengan komitmen hanya berlaku setahun namun diperpanjang sampai tahun lalu.
Hingga akhirnya, tahun ini muncul permintaan R2P dijadikan agenda tetap tersendiri, terlepas dari agenda Hasil dari KTT Dunia 2005.
"Di titik ini ada perbedaan pandangan dengan kita. Karena bagi Indonesia, sudah jelas yang namanya R2P adalah mandat atau amanah KTT Dunia tahun 2005 di mana harus dibahas dan agendanya sudah ada. Jadi kita merasa lebih baik dibahas di agenda yang sudah ada seperti sejak tahun 2009," kata Febrian.(*)