Mali Kembali Dikudeta, Wakil Presiden Gulingkan Presiden dan Perdana Menteri
Wakil presiden transisi Mali, Assimi Goita menyatakan telah menggulingkan presiden transisi dan perdana menteri Mali, Selasa (25/5/2021).
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Wakil presiden transisi Mali, Assimi Goita menyatakan telah menggulingkan presiden transisi dan perdana menteri Mali, Selasa (25/5/2021).
Konfirmasi Goita ini secara langsung membenarkan rumor pada Senin (24/5/2021) bahwa terjadi kudeta di Mali, Afrika Barat.
Goita mengatakan Presiden Bah N'Daw, Perdana Menteri Moctar Ouane, dan beberapa penasihat telah dicopot dari jabatannya karena gagal menemukan konsensus mengenai perombakan kabinet dengannya.
Dilansir CNN, kabar ini dibacakan oleh penasihat Goita, Baba Cissé dalam siaran nasional.
Sumber diplomat senior mengatakan kepada CNN, ada dua aktor kunci dalam kudeta yakni Kolonel Sadio Camara dan Modibo Koné.
Baca juga: Pertama Kalinya Sejak Kudeta, Aung San Suu Kyi Akan Muncul di Pengadilan pada 24 Mei
Baca juga: Ledakan Bom Parsel di Myanmar: 5 Orang Tewas, Termasuk Anggota Parlemen yang Dikudeta
Keduanya belum dimaksukkan dalam pemerintahan baru yang diumumkan pada Senin kemarin, sehingga menurut sumber, itulah yang menjadi pemicu kudeta.
Adapun keberadaan presiden dan perdana menteri Mali belum jelas.
N'Daw, Ouane, atau perwakilan presiden dan PM Mali ini juga belum bisa dihubungi CNN.
N'Daw, Ouane merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pembentukan pemerintahan transisi di Mali, yang dibuat pasca kudeta pada Agustus 2020.
Kudeta saat itu juga dipimpin oleh Goita, menggulingkan Presiden Ibrahim Boubacar Keita dan Perdana Menteri Boubou Cisse.
Pemerintah transisi yang dipimpin N'Daw berjanji akan mengadakan pemilihan legislatif dan presiden pada Februari 2022 untuk memulihkan pemerintahan yang demokratis.
Dalam pernyataan yang dibacakan penasihatnya pada Selasa, Goita dilaporkan mengatakan dia akan "mengikuti proses transisi" dan mempertahankan pemilihan yang direncanakan pada tahun 2022.
Pada Senin lalu, Komite Pemantau Transisi Lokal mengatakan N'Daw, Ouane, dan beberapa staf ditangkap dan berada di bawah kekuasaan militer.
Komite Pemantau Transisi Lokal merupakan badan yang memantau proses Mali kembali ke pengawasan sipil setelah kudeta militer pada Agustus 2020 lalu.
Adapun komite ini beranggotakan Uni Afrika, PBB di Bali, dan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS).
Dalam pernyataannya, Komite Pemantau Transisi Lokal mengatakan:
"Bersama dengan anggota komunitas internasional, termasuk Prancis, Amerika Serikat, Inggris Raya, Jerman dan Uni Eropa mengungkapkan keprihatinan yang mendalam mengenai situasi di Mali yang ditandai dengan penangkapan Presiden transisi, Perdana Menteri dan beberapa anggota staf mereka."
"Mereka menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat dari pihak berwenang itu dan bersikeras pada fakta bahwa anggota militer yang menahan mereka akan dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas keselamatan mereka," kata pernyataan itu.
Kudeta di tahun 2021 ini, menandai siklus konflik berkelanjutan di negara Afrika Barat itu selama lebih dari satu dekade.
Pada Selasa (25/5/2021), pemerintah Prancis mengatakan siap memberikan sanksi pada pihak-pihak dalam kudeta.
Baca juga: Varian Virus Corona Asal India, Inggris, dan Afrika Telah Masuk Indonesia, Berikut Peta Penyebaran
Baca juga: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Misi Kudeta Gagal, Barcelona Kini Kehilangan Ronald Koeman
"Dalam beberapa jam mendatang, jika situasi belum beres, kami siap untuk mengambil sanksi yang ditargetkan terhadap orang-orang yang terlibat," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Lebih lanjut, Macron menyatakan kudeta di Mali tidak bisa diterima.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian juga meminta pertemuan Dewan Keamanan PBB.
Mali merupakan negara di Afrika Barat, yang sempat menjadi jajahan Prancis.
Kebencian pada peran Prancis dalam urusan Mali juga telah memicu pergolakan politik.
Kudeta ini, dilaporkan The Guardian, berpotensi menambah ketidakstabilan Mali.
Di mana, di negara ini banyak kelompok terkait dengan al-Qaeda dan ISIS menguasai sebagian besar wilayah gurun di utara.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)