Presiden Terpilih Iran Ebrahim Raisi Tanggapi Tuduhan Terlibat Eksekusi Massal, Bangga Bela HAM
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi menanggapi tuduhan bahwa ia berperan dalam eksekusi massal saat ia sebagai Wakil Jaksa Teheran 1988
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi untuk pertama kalinya membahas hubungannya dengan eksekusi massal tahanan politik pada tahun 1988 ketika ia menjadi wakil jaksa Teheran.
Kelompok hak asasi menyatakan bahwa, tak lama setelah perang delapan tahun Iran-Irak berakhir, Raisi adalah salah satu anggota dari apa yang disebut "komisi kematian" yang memerintahkan penghilangan dan eksekusi ribuan tahanan.
Menanggapi pertanyaan Asssed Baig dari Al Jazeera tentang eksekusi, Raisi tidak secara langsung mengkonfirmasi atau menyangkal tuduhan tersebut.
“Semua yang saya lakukan selama menjabat adalah untuk membela hak asasi manusia,” kata cendekiawan Muslim garis keras ini, pada konferensi pers Senin (21/6/2021).
Dia menambahkan bahwa dia telah berurusan dengan mereka yang mengganggu hak-hak orang dan terlibat dalam gerakan Daeshi dan anti-keamanan, mengacu pada kelompok bersenjata ISIL (ISIS).
Baca juga: Ebrahim Raisi Terpilih jadi Presiden Iran, Ini Respons Para Pemimpin Dunia
“Jika seorang ahli hukum, hakim atau jaksa telah membela hak-hak orang dan keamanan masyarakat, dia harus dipuji dan didorong untuk menjaga keamanan orang dari serangan dan ancaman,” kata Raisi, seperti dilansir dari Al Jazeera.
Apalagi, katanya, sebagai jaksa dan dalam kapasitas lain, dia “bangga” selalu membela hak asasi manusia, dan berjanji akan terus melakukannya sebagai presiden.
Amnesty International awal pekan ini memperbarui seruannya agar Raisi diadili karena "kejahatan kemanusiaan".
Raisi adalah presiden Iran pertama yang bakal tersandung oleh sanksi Amerika Serikat setelah AS pada 2019 menunjuknya berperan dalam eksekusi, yang menindas protes publik, dan karena memerintahkan hukuman gantung bagi sejumlah orang di bawah umur pada saat mereka melakukan kejahatan.
Raisi juga mengatakan bahwa dia dan Iran sekarang dapat menyebut pelanggaran hak asasi manusia oleh negara lain – bukan sebaliknya – dan menyerukan mereka yang mendirikan kelompok teroris untuk diadili.
Baca juga: Presiden Terpilih Iran Tegaskan Tidak akan Bersedia Bertemu dengan Joe Biden
Kesepakatan Nuklir
Presiden terpilih Iran juga memperluas posisinya pada Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan sejumlah kekuatan dunia.
Dia mengulangi sikap yang dia umumkan selama debat presiden, bahwa dia mendukung kesepakatan itu, tapi AS harus kembali ke komitmennya dan pertama-tama mencabut sanksi sepihak yang dijatuhkan setelah mengabaikan kesepakatan bersejarah itu.
“Dunia harus tahu bahwa situasinya telah berubah. Sampai hari ini, 'tekanan maksimum' belum berhasil terhadap kami sehingga mereka harus mempertimbangkan kembali dan kembali," katanya mengacu pada kebijakan mantan Presiden Donald Trump tentang Iran.
Dia menambahkan bahwa kebijakan luar negeri pemerintahnya tidak dimulai dengan JCPOA dan tidak akan terbatas pada itu karena akan mencakup keseimbangan keterlibatan dengan dunia dan kawasan.
“Negosiasi apa pun yang menjamin kepentingan nasional kami, akan kami dukung tetapi kami tidak akan mengikat situasi ekonomi rakyat kami dengan negosiasi dan tidak akan membiarkan negosiasi demi negosiasi,” kata Raisi.
Baca juga: Presiden China Xi Jinping Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Ebrahim Raisi Sebagai Presiden Iran
Ditanya apakah dia akan bertemu dengan Presiden AS Joe Biden, jawabannya adalah "tidak".
Dia juga tidak menjawab pertanyaan apakah dia akan mempertahankan tim perunding saat ini yang dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, seorang negosiator nuklir veteran.
Pembicaraan putaran keenam di Wina untuk memulihkan kesepakatan itu berakhir pada Minggu dengan delegasi mengatakan kesepakatan akhir sudah dekat tetapi beberapa masalah utama masih belum terpecahkan.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, yang bertemu dengan Raisi pada hari Senin atas permintaan presiden terpilih untuk membicarakan kesepakatan nuklir, mengatakan awal pekan ini bahwa dia yakin kesepakatan dapat dicapai sebelum Raisi menjabat pada awal Agustus.
Raisi menjadi presiden kedelapan Iran dalam pemilihan pada hari Jumat setlah diskualifikasi sejumlah kandidat saingannya. Jumlah pemilih yang hadir hanya 48 persen, jumlah terendah sejak Revolusi 1979.
Baca juga: Ebrahim Raisi, Tokoh Konservatif Diunggulkan di Pilpres Iran 18 Juni 2021
Dianggap Ekstremis
Dilansir BBC.com, seorang juru bicara kementerian luar negeri Israel, Lior Haiat, mengatakan Raisi adalah presiden Iran terpilih yang paling ekstrem.
Haiat juga memperingatkan bahwa pemimpin baru itu pasti akan meningkatkan aktivitas nuklir Iran.
Iran dan Israel telah lama berada dalam "perang bayangan", yang mengakibatkan kedua negara mengambil bagian dalam aksi balas dendam, tetapi sejauh ini tetap menghindari konflik.
Namun belakangan, permusuhan antara keduanya kembali meningkat. Salah satu sumber ketegangan terbesar dipercaya adalah aktivitas nuklir Iran.
Iran menyalahkan Israel atas pembunuhan ilmuwan nuklir utamanya tahun lalu dan serangan terhadap salah satu pabrik pengayaan uraniumnya pada April.
Baca juga: Eks Kepala Mata-mata Israel Mossad Ungkap Operasi pada Iran, Pembunuhan Ilmuwan hingga Arsip Nuklir
Sementara itu, Israel tidak percaya bahwa program nuklir Iran adalah program yang murni damai. Israel yakin Iran bekerja untuk membangun senjata nuklir.
Kesepakatan nuklir Iran 2015 runtuh ketika mantan Presiden AS Donald Trump meninggalkan kesepakatan pada 2018, dan memberlakukan kembali sanksi yang melumpuhkan ekonomi.
Pemerintahan Biden sekarang mencoba mencari cara untuk memulai kembali kesepakatan itu.
Menanggapi sanksi yang diperketat, Iran meningkatkan kegiatan nuklirnya, dan saat ini memperkaya uranium pada tingkat tertinggi yang pernah ada - meskipun jumlah itu masih kurang dari apa yang dibutuhkan untuk membuat senjata tingkat nuklir.
Sementara itu, Ayatollah Khamenei telah berulang kali menyerukan penghapusan negara Israel.
Pada tahun 2018, ia menggambarkan negara itu sebagai "tumor kanker" yang harus dikeluarkan dari wilayah tersebut. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)