Salahkah Korban Rudapaksa dan Singgung Pakaian Minim, PM Pakistan Banjir Kecaman
Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan mendapat banyak kecaman karena menyalahkan korban rudapaksa dan menyebut pakaiannya minim.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan mendapat banyak kecaman karena menyalahkan korban rudapaksa dan menyinggung pakaiannya.
Pernyataan PM Imran Khan bermula saat diwawancarai jurnalis Axios, Jonathan Swan soal "epidemi rudapaksa" di Pakistan.
"Jika seorang wanita mengenakan pakaian yang sangat sedikit, itu akan berdampak pada pria kecuali mereka adalah robot."
"Itu akal sehat," kata Khan, dikutip dari The Guardian.
Perdana Menteri tidak menjelaskan maksud dari ungkapan soal pakaian itu, mengetahui bahwa wanita Pakistan mayoritas berpakaian konservatif.
Baca juga: Indonesia, Arab dan Pakistan Terpilih sebagai Anggota Reguler Governing Body ILO 2021-2024
Baca juga: KISAH Keluarga Pahlawan Berjibaku Selamatkan Korban Tabrakan Kereta Api di Pakistan
Belasan kelompok Hak Perempuan, termasuk Komisi HAM Pakistan menuntut permintaan maaf.
Politisi Maryam Nawaz, yang merupakan wakil presiden Liga Muslim Pakistan-Nawaz dan putri mantan perdana menteri Nawaz Sharif, mengatakan Khan adalah "pembela rudapaksa".
Menurutnya, orang-orang yang membenarkan rudapaksa memiliki pola pikir yang sama dengan para pelaku.
"Membuat hati saya bergidik memikirkan berapa banyak pelaku asusila yang merasa divalidasi hari ini dengan perdana menteri mendukung kejahatan mereka," cuit aktivis hak-hak perempuan, Kanwal Ahmed.
Aksi protes atas pernyataan kontroversial Khan direncanakan di Kota Karachi dan Lahore.
Menurut laporan Independent, setelah berkomentar soal pakaian, Khan melanjutkan bahwa hal ini tergantung pada budaya masing-masing daerah.
Dia mengatakan dalam masyarakat, di mana orang belum "melihat hal semacam itu, itu akan berdampak pada mereka. Jika Anda tumbuh dalam masyarakat seperti Anda, mungkin tidak akan berdampak," katanya, merujuk pada budaya Barat.
"Ini adalah imperialisme budaya," klaimnya.
"Apa pun yang dapat diterima dalam budaya kita, harus dapat diterima di tempat lain. Bukan itu," tambahnya.