Pemimpin Junta Militer Kini Jadi Perdana Menteri, Kudeta Myanmar Kemungkinan Sampai 2023
Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta militer Myanmar menunjuk dirinya menjadi Perdana Menteri baru.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta militer Myanmar menunjuk dirinya sendiri menjadi Perdana Menteri baru.
Dilansir BBC, dia mengatakan darurat militer yang terjadi saat ini dapat diperpanjang hingga Agustus 2023.
Dalam pidatonya, Min Aung Hlaing berjanji akan menyelenggarakan pemilihan multi-partai yang bebas dan adil.
Kendati demikian, dia menyebut partai terpilih yakni NLD, yang telah ia singkirkan sebagai "teroris".
Dalam pengumuman terpisah, pemerintah militer menyebut dirinya "pemerintah sementara" dan Min Aung Hlaing sebagai perdana menteri.
Baca juga: 6 Bulan Kudeta Myanmar, Junta Janjikan Pemilu, Sebut akan Akhiri Darurat Militer pada Agustus 2023
Baca juga: Setengah Penduduk Myanmar Terancam Terinfeksi Covid-19 dalam Dua Minggu ke Depan
Pengumuman ini akan menempatkan Myanmar dalam cengkeraman militer selama hampir dua setengah tahun.
Padahal di awal kudeta, junta militer mendeklarasikan kondisi darurat selama satu tahun, dikutip dari The Guardian.
Sejak kudeta pada Februari lalu, ratusan warga Myanmar tewas dalam aksi penolakan kepemimpinan militer.
Kondisi negara ini diperparah dengan lonjakan kasus infeksi Covid-19.
Hal ini menyebabkan fasilitas kesehatan di Myanmar kewalahan.
Hingga Senin (2/8/2021), Myanmar melaporkan 302.665 kasus infeksi dan 9.731 kematian terkait virus corona.
Jenderal Min Aung Hlaing dalam pidatonya menyebut, orang-orang yang melakukan demonstrasi menentang kudeta sengaja menyebarkan Covid-19.
Menurutnya, ada banyak berita palsu dan informasi hoaks di media sosial terkait kebijakan Covid-19.
Pemimpin kudeta ini mengatakan, vaksinasi akan dilakukan untuk menanggulangi pandemi corona.
Selain itu dia juga menyebut libur nasional akan diperpanjang.
Kendati demikian, menurut laporan BBC, lusinan tenaga kesehatan ditangkap dan banyak yang bersembunyi sejak kudeta.
Sejumlah orang mengaku, militer mangusir mereka saat ingin berobat ke rumah sakit.
Akses oksigen juga dibatasi hingga banyak orang yang meninggal dunia terkait Covid-19 di rumah.
Setelah militer merebut kekuasaan pada Februari, darurat nasional selama satu tahun diberlakukan.
Namun aksi penolakan oleh warga sipil secara nasional terus berlanjut, hingga puluhan ribu pekerja dipecat atau mogok.
"Saya berjanji untuk mengadakan pemilihan multi-partai tanpa gagal," ujar Jenderal Min Aung Hlaing.
Baca juga: Setengah Penduduk Myanmar Terancam Terinfeksi Covid-19 dalam Dua Minggu ke Depan
Baca juga: Inggris: Setengah Penduduk Myanmar Dapat Terinfeksi Covid-19 Dalam Dua Minggu Ke Depan
Belum jelas partai-partai yang dimaksud, namun Jenderal Min Aung Hlaing menyebut partai Aung San Suu Kyi yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) adalah "ekstremis".
Aung San Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta dan menghadapi berbagai tuduhan kriminal.
Aktivis hak asasi manusia di Burma, Aung Kyaw Moe menilai bahwa janji jenderal militer itu adalah kebohongan.
"(Janji pemilu) adalah kebohongan dan itu tidak akan terjadi, rakyat Myanmar tidak akan mempercayai janji semacam itu," ujarnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)
Berita lainnya seputar Krisis Myanmar