Menlu Brunei Erywan Yusof Dipilih sebagai Utusan Khusus ASEAN untuk Bantu Akhiri Krisis di Myanmar
Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Yusof dipilih sebagai utusan khusus ASEAN untuk membantu mengakhiri krisis di Myanmar.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memilih Menteri Luar Negeri Brunei, Erywan Yusof sebagai utusan khusus mereka untuk membantu mengakhiri krisis di Myanmar.
Dilansir The Washington Post, keputusan itu disampaikan ASEAN dalam sebuah pernyataan bersama setelah pertemuan yang digelar pada Rabu (4/8/2021).
Para menteri telah memilih Erywan Yusof pada pertemuan Senin (2/8/2021), tetapi tidak dapat mengumumkannya karena Myanmar belum memberikan persetujuan.
Para menteri kemudian mengadakan sesi lain pada Rabu pagi dan akhirnya berhasil membujuk pemerintah militer atau junta.
Demikian kata diplomat yang berbicara kepada The Associated Press dengan syarat anonim karena kurangnya wewenang untuk berbicara di depan umum.
Diketahui, Erywan Yusof termasuk di antara setidaknya empat kandidat yang diusulkan oleh para menteri.
Baca juga: ASEAN Setujui Menlu Kedua Brunei Erywan Yusof Jadi Utusan Khusus Soal Myanmar
Para menteri mayoritas memilih Erywan Yusof, sedangkan Myanmar memilih mantan diplomat Thailand.
Namun Myanmar menyerah dan menerima keputusan para menteri.
Hal ini menunjukkan bahwa junta masih berharap untuk mendapatkan dukungan ASEAN setelah menghadapi kecaman internasional.
Erywan Yusof akan memulai pekerjaannya di Myanmar untuk membangun kepercayaan dan keyakinan dengan akses penuh ke semua pihak terkait.
Belum dapat dipastikan apakah dan kapan para pemimpin junta akan mengizinkan utusan khusus ASEAN bertemu dengan pihak Aung San Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi, pemerintah terpilih yang digulingkan, telah ditahan bersama para pemimpin politik lainnya dan diadili atas sejumlah tuduhan.
Baca juga: Menlu RI Bahas Isu Myanmar hingga Afghanistan dengan Penasihat Keamanan Nasional AS
Lebih dari 900 orang telah dibunuh oleh pihak berwenang Myanmar sejak pengambilalihan kekuasaan pada 1 Februari 2021, menurut penghitungan yang disimpan oleh Asosiasi Bantuan independen untuk Tahanan Politik.
Korban juga meningkat di kalangan militer dan polisi karena perlawanan bersenjata tumbuh dengan baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.