Di Singapura Banyak yang Frustrasi, Putus Asa dan Lelah Hadapi Aturan Pembatasan Lebih Ketat
Pemerintah Singapura baru-baru ini kembali memberlakukan sistem pembatasan secara lebih ketat untuk menekan angka penyebaran virus corona (Covid-19).
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA - Pemerintah Singapura baru-baru ini kembali memberlakukan sistem pembatasan secara lebih ketat untuk menekan angka penyebaran virus corona (Covid-19).
Namun aturan ini ternyata telah membuat sebagian orang merasa frustrasi, putus asa, dan kecewa, ini merupakan efek emosional dari 'kelelahan menghadapi pandemi'.
Dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (5/8/2021), seorang Psikiater di Nobel Psychological Wellness Clinic, Dr Thong Jiunn Yew mengatakan bahwa saat angka infeksi virus corona (Covid-19) harian turun ke satu digit rendah, optimisme pun seketika muncul.
Orang-orang mulai merencanakan perjalanan dan sektor bisnis mulai meningkatkan operasi mereka.
Namun kemudian klaster besar Covid-19 muncul dan sistem pembatasan diperketat.
Baca juga: Istri PM Singapura Puji Malaysia atas Meningkatnya Tingkat Vaksinasi Covid-19 Harian
"Perubahan seperti itu menyebabkan kekecewaan dan orang mungkin merasa frustrasi dan tidak berdaya. Mereka mungkin juga merasa hilang kendali, beberapa merasa bahwa bahkan dengan mematuhi aturan pun, klaster masih akan tetap muncul dan jumlahnya terus meningkat," kata Dr Thong.
Perlu diketahui, Singapura kembali memasuki Fase 2 yakni kategori Peringatan Tinggi sejak 22 Juli lalu.
Ini terjadi setelah munculnya klaster Pelabuhan Perikanan Jurong yang menjadi klaster aktif terbesar di negara itu dengan catatan 1.097 kasus pada Selasa lalu.
Dr Thong menekankan bahwa banyak orang yang mungkin akhirnya merasa tidak yakin dengan masa depan mereka dan langkah selanjutnya yang harus diambil.
"Saya melihat ini terjadi pada banyak pasien yang tidak dapat memutuskan rencana pendidikan atau karir yang akan mereka ambil. Ketidakpastian ini telah menyebabkan kecemasan yang signifikan. Pada individu dengan gangguan kecemasan, perubahan ini bahkan meningkatkan ketakutan dan kecemasan," pungkas Dr Thong.(*)