Cerita WNI yang Tinggal di Afghanistan Saat Pasukan Taliban Memasuki Kabul
Taliban menyatakan akan membentuk pemerintahan baru di tengah gelombang evakuasi warga negara barat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, KABUL - Seorang warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Kabul bercerita tentang apa yang ia saksikan saat Taliban menguasai ibu kota Afghanistan, kondisi yang ia sebut "terjadi kepanikan dan ketakutan".
Taliban menyatakan akan membentuk pemerintahan baru di tengah gelombang evakuasi warga negara barat.
Indonesia sendiri dengan setidaknya 15 WNI di sana, belum memastikan waktu dan rencana jelas evakuasi warga.
Begitu pun dengan posisi politik Indonesia, Kementerian Luar Negeri menyatakan "prosesnya masih sangat cair" dan masih akan menunggu perkembangan di Afghanistan.
Peneliti Politik Timur Tengah dari LIPI, Nostalgiawan Wahyudhi, menilai langkah itu sudah tepat dengan tak gegabah mengakui maupun sebaliknya, menolak pemerintahan baru bentukan Taliban.
Baca juga: Pasukan Taliban Mulai Tembaki Warga yang Protes Pengibaran Bendera Afghanistan
Kesaksian seorang WNI yang tak ingin namanya disebut demi alasan keamanan menggambarkan suasana di ibu kota Afghanistan, Kabul pada Minggu (15/8/2021) sebagai sebuah situasi 'belingsatan'.
Manusia berhamburan di jalanan, pengendara mobil sudah tak lagi mengikuti aturan.
Ia ingat betul, maklumat siaga 1 yang dikeluarkan pihak keamanan terbit sebelum jam makan siang, sekitar pukul 10 pagi.
Dalam beberapa menit, kota Kabul penuh kendaraan hingga tak bisa bergerak.
"Kami mau langsung balik (pulang) itu, di jalan-jalan sudah belingsatan semuanya, mobil sudah ngebut sekencang-kencangnya enggak ngikutin arus jalan," cerita dia kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan, melalui sambungan telepon.
"Orang di jalan dengan berbagai macam buntelan yang mereka bawa," sambung dia.
Sebelum hari penguasaan oleh Taliban tersebut tiba, ia menuturkan kekacauan terendus beberapa hari sebelumnya.
Antrean warga mengular di sejumlah mesin ATM, juga di bank-bank.
Warga beramai-ramai menarik uang dari rekening masing-masing.
"Beberapa tempat penjualan bahan pokok atau sembako banyak yang tutup, harga juga naik," kata dia menceritakan kondisi di Kabul.
"Saya 15 (Agustus) pagi masih berangkat bekerja dan melihat situasi di jalan yang luar biasa dari apa-apa yang saya pernah lihat di tahun-tahun sebelumnya, atau selama Juli," ungkap dia lagi.
Baca juga: Taliban Kuasai Afghanistan, Patutkah Indonesia Khawatir Akan Potensi Teror?
"Semua turun ke jalan untuk kabur menyelamatkan diri, tapi mau menyelamatkan diri ke mana?"
Ia dan rekan-rekannya, mengaku sempat khawatir, setelah kekuasaan kembali jatuh ke tangan Taliban, kekerasan puluhan tahun silam akan berulang.
"Begitu tahu pasukan Taliban ada di batas pinggir Kota Kabul, bukan cuma kami aja yang panik, semua, seluruh penduduk panik," paparnya.
"Bayangin, Kabul itu jalan-jalannya tidak beraturan, jalan-jalan kecil, jalan besar juga semrawut, jalannya juga tidak bagus. Semua turun ke jalan untuk kabur menyelamatkan diri. Tapi sebenarnya mau menyelamatkan diri ke mana? Sekeliling Kota Kabul itu sudah dikuasai sama Taliban," ucap dia lagi.
Usai merebut ibu kota dan menduduki Istana Kepresidenan, pasukan Taliban melakukan patroli ke rumah-rumah penduduk.
"Ya memang sih kami dicek tiap rumah, diketok pintunya, 'bagaimana kondisinya kalian? Baik, sehat? Pihak laki-lakinya di sini apa pekerjaannya?'," ungkap dia sambil menirukan.
"Mungkin mereka (Taliban) akan mencari tahu apakah penghuni yang mereka patroli itu adalah bagian dari personel pemerintah, kayak gitu," sambung dia.
Tak hanya itu, milisi Taliban juga melucuti senjata polisi di kantor-kantor kedutaan, perwakilan asing dan, kantor badan internasional lain.
Penjagaan yang semula dilakukan personel bersenjata dari Diplomatic Protective Services (DPS)--yang bernaung di bawah kementerian dalam negeri dan polisi--kini semuanya digantikan oleh milisi Taliban. Para petugas diminta pergi dan dibebastugaskan.
"Yang menjaga di luar pagar itu sudah bukan lagi DPS, sudah personel Taliban. Kelihatan sih bedanya, tampang-tampangnya sudah pejuang Taliban semua," paparnya.
Gelagat kisruh merapatnya warga ke Bandara Kabul sudah ia saksikan sejak 10 Agustus 2021.
Dia menuturkan, awalnya penduduk berbondong ke kantor pelayanan publik di Afghanistan untuk mendapatkan visa sejak Juli 2021. Tapi masing-masing kedutaan memiliki keterbatasan untuk memproses seluruh permohonan.
"Itulah mengapa mereka yang putus asa akhirnya merapat ke bandara. Gimana caranya kalau perlu nyangkut ke badan pesawat juga dikerjain," kata WNI ini menceritakan kondisi di bandar udara Kabul.
Langkah pemerintah Indonesia selamatkan WNI di Afghanistan
Terkait perkembangan kondisi di Afghanistan, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, mengatakan Indonesia telah menyiapkan rencana penyelamatan WNI termasuk salah satunya evakuasi.
Hanya saja ia belum bisa memastikan kapan akan dilakukan.
Tapi menurut dia sudah ada tim khusus dari unit perlindungan WNI Kemenlu yang menggodok pematangan rencana evakuasi, sambil menunggu masukan dari KBRI Afghanistan ihwal waktu yang tepat.
"Karena perkembangan di lapangan itu harus kita yakini cukup kondusif untuk bisa evakuasi," terang Faizasyah ketika dihubungi wartawan Nurika Manan melalui sambungan telepon.
Misalnya, lanjut dia, memastikan kondisi dan tingkat kesibukan di Bandara Kabul melalui komunikasi dengan pihak Amerika Serikat dan NATO sebagai pengelola bandara.
Selain itu KBRI Afghanistan juga masih berkomunikasi dengan berbagai pihak guna memastikan jaminan keselamatan bagi WNI.
"Dan faktanya memang pemerintahan sebelumnya sudah tidak berfungsi di sana, sehingga itulah yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian dan upaya khusus dari teman-teman di KBRI," terang Faizasyah.
Namun dia memastikan WNI di Afghanistan dalam kondisi baik. Pemerintah Indonesia juga masih harus memastikan pilihan masing-masing WNI, apakah siap untuk dievakuasi ataukah punya pertimbangan lain.
Data sementara Kemenlu mencatat ada 15 WNI di Afghanistan. Tapi jumlah ini terus dicek ulang mengingat terbuka kemungkinan ada WNI yang masih belum terdata.
Bagaimana posisi pemerintahan Indonesia terhadap pemerintah baru yang dibentuk Taliban?
Adapun setelah Taliban menguasai ibu kota Afghanistan dan Istana Kepresidenan, Indonesia belum menentukan sikap apakah akan mengakui atau menolak pemerintahan baru yang akan dibentuk.
Teuku Faizasyah mengatakan "proses ini masih sangat cair (fluid)" sehingga Indonesia perlu terlebih dulu melihat perkembangan ke depan.
Kendati begitu dia tak menjawab saat BBC News Indonesia menanyakan apakah pemerintah sudah berencana mengontak pemerintahan baru Taliban atau bakal memilih langkah lain.
Peneliti Timur Tengah dari LIPI, Nostalgiawan Wahyudhi, menilai "menunggu" adalah pilihan yang tepat. Indonesia, menurut dia, perlu berhati-hati dan tak gegabah menentukan sikap untuk mengakui atau menolak pemerintahan baru bentukan Taliban.
"Memang kita harus wait and see ya, perpindahan kekuasaan di sebuah negara kan kita tidak tahu seperti apa," terang Nostalgiawan.
"Namun untuk ancang-ancang, yang diambil Indonesia untuk tidak over-reaktif itu memang cukup baik. Dalam arti, siapapun yang berkuasa itu kita akan wait and see, apakah dilihat kondisi negara itu chaos atau tidak," sambungnya.
Selain karena tak ada ketergantungan secara ekonomi maupun politik dengan Afghanistan, Nostalgiawan mengungkapkan, Indonesia tidak pernah memiliki sejarah konflik sehingga mengharuskan negara bergegas menentukan sikap. Sehingga tak ada urgensi untuk cepat-cepat menentukan sikap.
Ia menyarankan pemerintah Indonesia untuk menunggu dan menyaksikan apakah Taliban sungguh-sungguh mewujudkan komitmen mereka seperti dalam jumpa pers pertama ataukah sebaliknya.
Nostalgiawan mengatakan, jangan sampai kebijakan politik yang keliru dan reaksi berlebihan terhadap apa yang terjadi di Afghanistan justru akan merugikan Indonesia kelak.
"Jadi kita tidak pada posisi yang terlalu ekstrem seperti Amerika yang pernah di Afghanistan," kata Nostalgiawan.
Menakar janji Taliban mengubah kebijakan
Taliban merebut ibu kota Afghanistan, Kabul, pada Minggu (15/8/2021), 20 tahun setelah mereka digulingkan Amerika serikat dan sekutunya dari kekuasaan.
Dua hari setelahnya, Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid menyatakan akan membentuk pemerintahan "Islamis yang kuat" dan memberikan amnesti kepada mereka yang pernah bekerja dengan pihak asing.
Nostalgiawan mengklaim pemerintahan baru kemungkinan akan berbeda dari masa kepemimpinan 1996-2001, yang terkenal dengan hukuman di muka umum, termasuk rajam dan pembatasan ketat terhadap perempuan.
Mujahid juga menjanjikan perempuan akan menikmati hak sesuai syariah, sementara media swasta bisa bertugas secara bebas dan independen.
Mengamati itu, Nostalgiawan mengaku tak terlalu optimistis akan perubahan Taliban.
Konferensi pers Taliban itu tutur Nostalgiawan, boleh jadi menjadi upaya mereka untuk mendapatkan simpati politik.
"Tapi bisa jadi juga sebagai upaya mekanisme pembelajaran yang mereka lakukan, bagaimana kegagalan mereka menguasai Afghanistan yang sebelumnya ya."
Ia menerangkan, puluhan tahun silam Taliban pernah tersudut di titik terendah di mana langkah politik mereka malah berujung pada konflik berdarah, kehilangan akses kekuasaan, terusir dari pusat pemerintahan dan, tak mendapatkan dukungan dari warganya sendiri.
"Jadi dengan mengambil posisi yang tidak terlalu kontra mungkin banyak yang bisa kita kerjasamakan, tidak ada masalah," tutur Nostalgiawan.
"Kalau pengelolaan negaranya sama dengan Taliban yang sebelumnya, kita juga tidak dalam posisi yang telanjur nyemplung mengatakan mendukung kan. Kita bisa menghindar untuk tidak ikut campur kan," imbuh dia.
Alih-alih memilih sikap ekstrem dengan mengakui pemerintahan baru Taliban atau menolaknya, Nostalgiawan justru melihat peluang Indonesia bisa mengambil pendekatan dialog dan mendamaikan, bertolok pada sejarah perdamaian yang pernah dikerjakan negara ini.
Ia pun menyinggung soal mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sempat mengundang perwakilan Taliban.
Menurut dia, saat itu Taliban menunjukkan respons positif.
"Upaya-upaya ketika Taliban ke Indonesia dan melakukan dialog dan bertukar pikiran itu termasuk salah satu tanda dalam human relationship, baik itu secara politik ataupun sosial itu berarti kan mereka masih bisa berdialog," papar Nostalgiawan.
"Alangkah baiknya jika posisi Indonesia masih sama... Di posisi mendamaikan. Itu kalau dalam pendekatan luar negeri dan diplomasi jauh lebih baik dibandingkan kita langsung secara gegabah masuk ke salah satu pihak yang sebetulnya kita tidak perlu," kata dia meyakinkan.