Presiden Afghanistan Ashraf Ghani Muncul ke Publik, Bantah Tudingan Curi Kas Negara Rp 2,4 T
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani yang sempat dikabarkan kabur dari negara saat Taliban masuk ibu kota Kabul, kini muncul ke publik.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Malvyandie Haryadi
"Saya pergi hanya dengan rompi dan beberapa pakaian."
"Pembunuhan pribadi terhadap saya telah berlangsung, mengatakan bahwa saya telah membawa uang," kata Ghani.
"Tuduhan itu adalah kebohongan yang tidak berdasar. Anda bahkan dapat bertanya kepada petugas bea cukai – itu tidak berdasar," tambahnya.
Sebelumnya, Ghani dituduh Duta Besar Afghanistan untuk Tajikistan telah mencuri uang USD 169 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun dari kas negara.
Duta Besar Mohammad Zahir Aghbar bahkan meminta polisi internasional untuk menangkapnya.
Dalam konferensi pers pada Rabu, Aghbar mengatakan Ghani "mencuri USD 169 juta dari kas negara" dan menyebut pelarian presiden adalah "pengkhianatan terhadap negara dan bangsa".
Menteri pertahanan Afghanistan, Bismillah Khan ikut menyuarakan tagar agar Interpol menangkap Ashraf Ghani, menurut laporan Al Jazeera.
Mendukung Pembicaraan dengan Taliban
Dalam siaran Facebooknya, Ghani juga mengaku mendukung pembicaraan antara Taliban dengan mantan pejabat tinggi pemerintah.
Dia mengatakan berencana kembali ke Afghanistan setelah mencari perlindungan ke UEA.
"Saya mendukung inisiatif pemerintah untuk negosiasi yang sedang berlangsung dengan Abdullah Abdullah dan mantan presiden Hamid Karzai. Saya ingin proses ini sukses," katanya.
"Saya sedang berkonsultasi untuk kepulangan saya ke Afghanistan sehingga saya dapat melanjutkan upaya untuk keadilan, nilai-nilai Islam dan nasional yang sejati," jelas Ghani.
Taliban diketahui kembali merebut kekuasaan di Afghanistan setelah 20 tahun jatuh sejak invasi AS pada 2001 silam.
Baca juga: Setelah Diduga Kabur dari Taliban, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani Ingin Kembali ke Negaranya
Baca juga: Taliban Dapat Keuntungan dari Dana 83 Miliar Dolar yang Dikucurkan AS untuk Afghanistan
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)