Jokowi dan Biden Tuntut Militer Myanmar Segera Bebaskan Tahanan dan Pulihkan Demokrasi
Presiden Jokowi dan Presiden AS Joe Biden menuntut militer Myanmar untuk segera membebaskan tahanan politik dan memulihkan demokrasi di negara itu.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden meminta militer Myanmar untuk membebaskan tahanan politik.
Hal tersebut disampaikan kedua pemimpin negara itu di sela-sela konferensi iklim (COP26) yang diadakan di Glasgow, Skotlandia.
Menurut Gedung Putih, Jokowi dan Biden juga menyatakan keprihatinan mereka tentang kudeta di Myanmar.
Jokowi dan Biden kemudian menuntut militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan memulihkan demokrasi dengan cepat.
Selanjutnya, Biden menyatakan dukungannya untuk menempatkan perwakilan ASEAN pada pemerintah militer atau junta Myanmar.
Baca juga: ASEAN Tegaskan Myanmar Bagian dari Keluarga, Tapi Akan Desak Junta Dialog
Baca juga: Tidak Perlu Meninjau Kembali, Potong Saja ODA Jepang ke Myanmar
Sebelumnya pada hari Senin, pemerintahan Biden menyambut misi pribadi ke Myanmar oleh mantan duta besar AS untuk PBB, Bill Richardson.
Misi pribadi itu dianggap sebagai cara yang memungkinkan untuk membantu mempercepat akses kemanusiaan ke negara itu.
Departemen Luar Negeri mengatakan Richardson melakukan perjalanan sendiri dengan harapan dapat membantu meyakinkan para pemimpin Myanmar untuk mengizinkan bantuan yang sangat dibutuhkan terkait pandemi virus corona dan kebutuhan mendesak lainnya.
"Gubernur Richardson memiliki pengalaman luas dalam menangani masalah kemanusiaan," kata departemen itu sebagaimana dilansir Al Jazeera.
"Meskipun ini bukan upaya yang disponsori oleh, atau atas nama, pemerintah Amerika Serikat, kami berharap perjalanannya berkontribusi pada peningkatan akses kemanusiaan," tambah departemen itu.
Saat ini, kebutuhan kemanusiaan dan kesehatan di Myanmar sangat luar biasa.
Untuk itu, Departemen Luar Negeri akan terus menyerukan militer untuk menghentikan kekerasan, membebaskan tahanan politik, menizinkan bantuan kemanusiaan, dan memastikan keselamatan pekerja kesehatan.
"Kami terus menyerukan rezim militer untuk menghentikan kekerasannya, membebaskan mereka yang ditahan secara tidak adil, mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan memastikan keselamatan pekerja kesehatan dan kemanusiaan," jelas Departemen Luar Negeri.
Richardson, yang merupakan mantan utusan PBB dan gubernur New Mexico, mengumumkan pada hari Minggu bahwa dia sedang menuju ke Myanmar.
Dalam kunjungan itu, dia akan fokus menangani pandemi di negara Asia Tenggara itu.
"Di saat-saat krisis dan ketidakstabilan seperti ini, kita harus memastikan bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan," katanya.
Richardson mengatakan pusatnya, The Richardson Center, memiliki sejarah panjang keterlibatan di Myanmar tetapi tidak menyebutkan kudeta dalam pengumuman perjalanannya atau merinci siapa yang dia rencanakan untuk bertemu saat berada di sana.
Richardson terakhir mengunjungi Myanmar pada 2018 untuk memberi nasihat tentang krisis Rohingya.
Dia akhirnya keluar dari panel internasional yang dibentuk untuk mengerjakan temuan dari komisi sebelumnya setelah angkatan bersenjata dituduh melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine barat.
Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengetahui misi Richardson tersebut, kata juru bicara Richardson Madeleine Mahony.
Mahony menolak mengatakan apakah Richardson juga akan bekerja untuk pembebasan jurnalis Amerika Danny Fenster yang telah dipenjara di Myanmar sejak 24 Mei.
Diektahui, Fenster ditahan di Bandara Internasional Yangon saat hendak naik pesawat ke AS.
Dia adalah redaktur pelaksana Frontier Myanmar, sebuah majalah online yang berbasis di Yangon, kota terbesar Myanmar.
Fenster didakwa dengan pasal penghasutan, karena diduga menyebarkan informasi palsu atau menghasut.
Pelanggaran ini dapat membuat Fenster dihukum hingga tiga tahun penjara.
Baca juga: Minus Kehadiran Perwakilan Myanmar, Berikut Lima Hasil KTT ASEAN
Baca juga: Presiden Berharap Demokrasi di Myanmar Segera Pulih
9 Bulan Kudeta Myanmar
Perebutan kekuasaan atau kudeta oleh militer Myanmar terjadi pada 1 Februari 2021.
Itu artinya junta telah menguasai Myanmar selama sembilan bulan.
Selama dikuasai junta, Myanmar telah terperosok dalam kekerasan dan kerusuhan sipil yang menyebabkan jatuhnya korban.
Menurut data terbaru yang dikumpulkan oleh pemantau hak, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), setidaknya ada 1.229 orang tewas sejak kudeta.
Lebih dari 9.500 orang penentang jubta, telah ditangkap.
Para pengunjuk rasa juga menghadapi pemukulan dan penangkapan, menurut laporan, setidaknya 131 orang meninggal setelah disiksa.
Kekerasan antara militer dan kelompok pemberontak etnis juga meletus, memaksa puluhan ribu orang mengungsi atau melintasi perbatasan ke Thailand.
Baca juga artikel lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.