Pengadilan Junta Myanmar akan Jatuhkan Vonis kepada Pemimpin yang Dikudeta Suu Kyi Bulan Depan
Pengadilan junta Myanmar akan menjatuhkan vonis kepada pemimpin yang dikudeta, Aung San Suu Kyi, pada 14 Desember 2021.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan pemerintah militer atau junta Myanmar akan menjatuhkan vonis kepada pemimpin yang dikudeta, Aung San Suu Kyi pada 14 Desember 2021 mendatang, CNA melaporkan.
Vonis tersebut terkait kasus pelanggaran aturan pembatasan Covid-19 selama pemilihan umum (Pemilu) yang dimenangkan partai pimpinan Aung San Suu Kyi, NLD.
Pada hari Selasa Aung San Suu Kyi muncul di sidang terakhir dalam persidangan kasusnya itu, kata sebuah sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian itu kemudian akan bersaksi dalam pembelaannya pada minggu depan, kata sumber itu.
Adapun Aung San Suu Kyi akan menghadapi hukuman tiga tahun penjara jika terbukti melanggar aturan pembatasan Covid-19.
Baca juga: Pasukan Anti Militer Tembak Mati Eksekutif Mytel, Hampir Setiap Hari Bunuh Pejabat Junta Myanmar
Baca juga: ASEAN Tegaskan Myanmar Bagian dari Keluarga, Tapi Akan Desak Junta Dialog
Pengadilan junta juga akan mendengarkan argumen penutup dalam persidangan terpisah untuk kasus penghasutan pada minggu depan.
Jika Aung San Suu Kyi terbukti melakukan penghasutan, dia akan mendekam di penjara selama beberapa dekade.
Kasus penghasutan yang dimaksud, yaitu berkaitan dengan dua pernyataan yang diterbitkan partainya pada bulan Februari, yang mengutuk rezim militer dan meminta organisasi internasional untuk tidak bekerja dengan mereka.
Aung San Suu Kyi (76) mulai diadili pada bulan Juni dan menghadapi 10 dakwaan.
Di antaranya memiliki walkie-talkie secara ilegal, melanggar aturan virus corona, dan melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi.
Media telah dilarang menghadiri persidangan di pengadilan khusus di ibukota yang dibangun militer Naypyidaw, dan junta baru-baru ini melarang tim hukumnya berbicara kepada wartawan.
Perintah itu datang setelah pengacara Aung San Suu Kyi, Khin Maung Zaw melaporkan kesaksian presiden Myanmar yang digulingkan, Win Myint di pengadilan.
Dalam persidangan Win Myint mengaku para jenderal telah mencoba memaksanya untuk melepaskan kekuasaannya.
Para jenderal yang merupakan dua pejabat senior militer mendekatinya beberapa jam sebelum kudeta 1 Februari 2021.
Mereka memintanya untuk mengundurkan diri dengan alasan kesehatan yang buruk.
Baca juga: Indonesia dan AS Kompak Tuntut Militer Myanmar Segera Bebaskan Tahanan dan Pulihkan Demokrasi
Baca juga: Biden dan Jokowi Desak Militer Myanmar Bebaskan Tahanan Politik
Win Myint menolak permintaan tersebut dan mengatakan bahwa dia dalam keadaan sehat.
Pihak militer kemudian memperingatkan Win Myint bahwa dia bisa sangat dirugikan jika menolak permintaan para jenderal.
Namun, Win Myint tetap enggan meninggalkan jabatannya dan mengatakan bahwa dia lebih baik mati daripada menyetujuinya.
"Presiden menolak proposal mereka, dengan mengatakan dia dalam keadaan sehat," kata pengacara pembela Khin Maung Zaw.
"Para petugas memperingatkannya bahwa penolakan itu akan menyebabkan banyak kerugian, tetapi presiden mengatakan kepada mereka bahwa dia lebih baik mati daripada menyetujuinya," sambungnya.
Baca juga: Tidak Perlu Meninjau Kembali, Potong Saja ODA Jepang ke Myanmar
Baca juga: Minus Kehadiran Perwakilan Myanmar, Berikut Lima Hasil KTT ASEAN
Khin Maung Zaw menambahkan, Win Myint menentang klaim militer yang menyebut tidak ada kudeta yang terjadi dan bahwa kekuasaan secara sah dialihkan kepada para jenderal oleh seorang penjabat presiden.
Perebutan kekuasaan atau kudeta oleh militer Myanmar terjadi pada 1 Februari 2021.
Itu artinya junta telah menguasai Myanmar selama sembilan bulan.
Selama dikuasai junta, Myanmar telah terperosok dalam kekerasan dan kerusuhan sipil yang menyebabkan jatuhnya korban.
Menurut data terbaru yang dikumpulkan oleh pemantau hak, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), setidaknya ada 1.229 orang tewas sejak kudeta.
Lebih dari 9.500 orang penentang jubta, telah ditangkap.
Para pengunjuk rasa juga menghadapi pemukulan dan penangkapan, menurut laporan, setidaknya 131 orang meninggal setelah disiksa.
Kekerasan antara militer dan kelompok pemberontak etnis juga meletus, memaksa puluhan ribu orang mengungsi atau melintasi perbatasan ke Thailand.
Baca juga artikel lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)