Utusan Singapura untuk PBB Sebut Nagaenthran K Dharmalingam Tidak Mengalami Disabilitas Intelektual
Utusan Singapura untuk PBB menyebut Pengadilan Tinggi telah menyimpulkan bahwa Nagaenthran K Dharmalingam tidak menderita cacat intelektual.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Utusan Singapura untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa mengatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah menyimpulkan bahwa Nagaenthran K Dharmalingam memang memiliki fungsi intelektual yang terbatas tetapi ia tidak menderita cacat intelektual.
Nagaenthran, yang merupakan warga negara Malaysia asal India, menghadapi eksekusi mati di Singapura karena perdagangan narkoba.
Pernyataan itu dikeluarkan Duta Besar Umej Bhatia pada hari Kamis (12/11/2021), sebagai tanggapan atas permintaan mendesak empat pelapor khusus PBB.
Pada tanggal 29 Oktober, pelapor itu meminta Singapura untuk secara definitif menghentikan eksekusi Nagaenthran.
Mereka menyebut bahwa terpidana memiliki disabilitas psikososial, The Strait Times melaporkan.
Baca juga: Kasus Nagaenthran K. Dharmalingam, Terpidana Mati Kasus Narkoba yang Miliki IQ 69, Eksekusi Ditunda
Baca juga: Singapura Tunda Eksekusi Mati Warga Malaysia yang Terinfeksi Covid-19
Nagaenthran (33), dijadwalkan digantung di Penjara Changi pada hari Rabu lalu.
Namun, eksekusi itu ditangguhkan pada Selasa oleh Pengadilan Banding setelah ia dinyatakan positif Covid-19 menjelang sidang bandingnya.
Dalam jawabannya, Bhatia mengatakan bahwa selama sidang hukuman ulang Nagaenthran beberapa tahun lalu, Pengadilan Tinggi secara khusus sudah mempertimbangkan apakah Nagaenthran memenuhi kriteria diagnostik untuk disabilitas intelektual berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V).
Nagaenthran telah mengajukan permohonan sidang hukuman ulang pada Februari 2015, dan Pengadilan Tinggi, yang menolaknya pada September 2017, menemukan bahwa ia tidak menderita cacat intelektual ringan.
"Ketika sampai pada temuan ini, Pengadilan Tinggi mencatat bahwa DSM-V menyatakan skor tes IQ adalah perkiraan fungsi konseptual tetapi mungkin tidak cukup untuk menilai penalaran dalam situasi kehidupan nyata dan penguasaan tugas harian," kata Bhatia.
Psikiatri Nagaenthran sendiri Juga Menyebut Terpidana Tidak Cacat Intelektual
Bukti yang dipertimbangkan termasuk kesaksian ahli psikiatri Nagaenthran sendiri, yang setuju bahwa dia tidak menderita cacat intelektual.
"Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Banding menyatakan bahwa Nagaenthran dengan jelas memahami sifat tindakannya dan tidak kehilangan rasa penilaiannya tentang benar atau salah dari apa yang dia lakukan," kata Bhatia.
"Meskipun mengetahui tindakannya yang melanggar hukum, Nagaenthran tetap melakukan upaya kriminal sehingga dia dapat melunasi sebagian dari hutang moneter."
"Pengadilan Tinggi menemukan bahwa itu adalah cara kerja pikiran kriminal, menimbang risiko dan keuntungan yang terkait dengan tindakan kriminal yang bersangkutan."
"Nagaenthran mengambil risiko yang diperhitungkan, yang bertentangan dengan harapannya."
"Itu adalah keputusan yang disengaja, terarah dan diperhitungkan dari pihak Nagaenthran untuk mengambil kesempatan," tambahnya.
PBB: Hukuman Mati Tidak Sesuai Hukum Internasional
Pakar hak asasi manusia PBB Morris Tidball-Binz, Gerard Quinn, Felipe Gonzalez Morales dan Nils Melzer telah mengklaim bahwa pemberian hukuman mati untuk kejahatan narkoba tidak sesuai dengan hukum internasional.
Mereka menyebut hukuman mati hanya boleh dijatuhkan untuk kejahatan yang paling serius.
"Pelanggaran terkait narkoba tidak memenuhi ambang batas ini," menurut mereka.
"Menggunakan jenis hukuman ini untuk mencegah perdagangan narkoba tidak hanya ilegal menurut hukum internasional, tetapi juga tidak efektif," kata para ahli seperti dikutip The Straits Times.
Namun, Bhatia menyebut bahwa tidak ada konsensus internasional untuk menerapkan atau menentang penggunaan hukuman mati, atau kejahatan seperti apa yang merupakan "kejahatan paling serius".
Dia mengatakan menjatuhkan hukuman mati adalah hak berdaulat setiap negara untuk memutuskan penggunaan hukuman,
Negara juga telah mempertimbangkan keadaannya sendiri dan sesuai dengan kewajiban hukum internasionalnya.
Keluarga Nagaenthran Dikabarkan "Dipersulit"
Sementara itu, Singapura juga menerima tuduhan bahwa anggota keluarga Nagaenthran diberi daftar panjang aturan COVID-19 yang harus diikuti.
Keluarga Nagaenthran dilaporkan tidak diizinkan menggunakan transportasi umum untuk mengunjung penjara.
Bhatia mengatakan persyaratan itu adalah bagian dari protokol Covid-19 yang berlaku di Singapura yang berlaku untuk semua wisatawan dari Malaysia.
Ia menambahkan bahwa pihak berwenang Singapura juga telah menghubungi anggota keluarga Nagaenthran untuk memfasilitasi mereka masuk dan tinggal di Singapura.
Data Statistik Hukuman Mati di Singapura
Di sisi lain, pakar PBB telah meminta Singapura untuk menghormati komitmennya untuk merilis data tentang hukuman mati.
Bhatia mengatakan Singapura menerbitkan jumlah eksekusi yudisial yang dilakukan setiap tahun dalam rilis statistik tahunan Layanan Penjara Singapura (SPS).
Statistik terbaru untuk tahun 2020 dapat ditemukan di situs web SPS.
Dalam statistik, tertulis ada 13 eksekusi yang dilakukan pada 2018, empat pada 2019 dan nol pada 2020.
Kasus Nagaenthran
Nagaenthran berusia 21 tahun ketika dia ditangkap pada tahun 2009 karena menyelundupkan narkoba di pos pemeriksaan Woodlands di jalan lintas antara Singapura dan Semenanjung Malaysia.
Seikat narkoba ditemukan terikat di pahanya.
Ia divonis dan dijatuhi hukuman mati pada November 2010 karena mengimpor 42,72 gram heroin pada 2009.
Undang-Undang Penyalahgunaan Narkoba Singapura mengatur hukuman mati di mana jumlah heroin yang diimpor lebih dari 15 gram.
Kasus ini menjadi sorotan akhir bulan lalu ketika Layanan Penjara Singapura menulis surat kepada ibu Nagaenthran.
Layanan Penjara Singapura memberi tahunya bahwa hukuman mati pada putranya akan dilakukan pada 10 November.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)