Kasus Terpidana Mati Nagaenthran Jadi Perdebatan Terkait Hukuman Mati di Singapura
Kisah Nagaenthran telah menyebabkan riak di Singapura dan mengintensifkan perdebatan seputar hukuman mati di negara tersebut.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Nagaenthran K. Dharmalingam tetap terkurung dalam sel di Penjara Changi Singapura, hidup dalam hukuman mati seperti yang telah ia alami selama 11 tahun terakhir.
Melansir Al Jazeera, penundaan eksekusi selama 11 jam dan dinyatakan positif Covid-19 membuatnya tetap hidup saat ini.
Kisah Nagaenthran telah menyebabkan riak di negara kota kecil di Asia Tenggara, mengintensifkan perdebatan seputar hukuman mati di negara yang terkenal dengan pendekatannya yang tidak masuk akal terhadap kejahatan.
Pada 2009, saat berusia 21 tahun, Nagaenthran tertangkap saat mencoba memasuki Singapura dengan mengikat 43 gram diamorfin (heroin) di pahanya.
Setahun kemudian, dia dijatuhi hukuman mati.
Baca juga: Utusan Singapura untuk PBB Sebut Nagaenthran K Dharmalingam Tidak Mengalami Disabilitas Intelektual
Baca juga: Tak Ikut TC di Turki, Syahrian Abimanyu Bisa Langsung Gabung Timnas Indonesia di Singapura
Nagaenthran mengaku dipaksa membawa narkoba, meski kemudian dia mengaku melakukannya karena membutuhkan uang.
Tim hukumnya berpendapat bahwa IQ Nagaenthran rendah yaitu 69 menunjukkan cacat intelektual, yang memengaruhi kemampuannya untuk membuat keputusan yang tepat.
Kasus ini telah memicu kecaman internasional yang luas dari kelompok hak asasi manusia hingga perwakilan dari Uni Eropa dan pengusaha Inggris Richard Branson.
Bahkan ada intervensi dari Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob.
Dia menulis surat kepada timpalannya dari Singapura Lee Hsien Loong, meminta keringanan hukuman, menurut kantor berita negara Malaysia Bernama.
Nasib Nagaenthran juga telah menimbulkan kritik yang jarang terjadi di negara-kota itu sendiri.
Sebuah petisi yang dimulai oleh seorang warga Singapura untuk menghentikan eksekusi telah menerima lebih dari 80.000 tanda tangan.
Singapura sebelumnya telah melihat dukungan untuk hukuman mati.
Sebuah survei tahun 2019 oleh Institute of Policy Studies terhadap 2.000 penduduk menemukan 70 persen setuju bahwa eksekusi lebih merupakan pencegah terhadap kejahatan serius daripada hukuman seumur hidup.