Siswa dan Guru Myanmar Boikot Sekolah: Takut Diserang Militer dan Tuntut Reformasi Sistem Pendidikan
Para siswa dan guru di Myanmar tidak hadir di sekolah karena takut diserang oleh militer. Mereka juga menuntut reformasi pada sistem pendidikan.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
"Saya pikir PDF mencoba menakut-nakuti siswa sehingga kami akan protes dengan mereka. Tetapi baik PDF maupun militer sekarang mengambil sisi ekstrem seperti itu,” kata Chika Ko.
"Bahkan PDF sekarang mengatakan bahwa jika kita tidak bergabung dengan mereka, itu berarti kita mendukung militer, dan mereka mengancam kita," tambahnya.
Baca juga: 15 Negara Anggota DK PBB Desak Myanmar Hentikan Kekerasan
Teror Militer
Pasukan keamanan yang berada di bawah komando junta, telah menyerang guru dan siswa yang terlibat dalam CDM.
Tentara bersenjata berada di sekeliling sekolah dan di ruang kelas sehingga membuat siswa dan guru ketakutan.
Selama akhir pekan, dua guru sekolah menengah dari Mandalay, yang menolak bekerja di bawah militer, dipukuli dan ditangkap karena mendukung gerakan pemogokan.
Pada 12 November, sebuah sekolah pelatihan komputer di Mandalay, dibakar karena dianggap terkait dengan badan amal yang berafiliasi dengan Aung San Suu Kyi.
Pembukaan Universitas
Sementara pembukaan kembali 1 November adalah untuk SD, SMP, dan SMA, ada juga pembicaraan bahwa universitas dapat dibuka kembali segera setelah Desember.
Rencana tersebut mendapatkan tanggapan dari para mahasiswa.
Mereka memutuskan juga akan melanjutkan boikot mereka.
Sekretaris Serikat Mahasiswa Sagaing, Way Yan Pyo memutuskan dia tidak akan hadir di kampus.
"Saya sudah memutuskan ketika mereka membuka universitas, saya tidak akan hadir," kata Way Yan Pyo.
Dia tidak ingin lulus dalam sistem pendidikan di bawah kekuasaan junta.
Dia lebih memilih menunggu sampai ada reformasi kurikulum.
"Saya tidak ingin lulus dalam sistem militer, terutama yang tidak diakui secara internasional. Saya lebih suka menunggu sampai mereka mengubah kurikulum tetapi saya tidak berpikir mereka akan mengubahnya dalam waktu dekat, jadi untuk sementara saya telah bergabung dengan PDF lokal," jelas Way Yan Pyo.
Negara bagian Sagaing di barat laut Myanmar telah menjadi salah satu pusat kekerasan antara militer dan kelompok perlawanan, dengan banyak anak muda terjebak dalam baku tembak.
Ketua serikat pekerja Way Yan Pyo diculik pada bulan September dan tidak ada kabar lagi sejak itu.
Untuk melindungi diri mereka sendiri, serta untuk melawan para jenderal, Way Yan Pyo dan banyak teman-teman sekelasnya telah bergabung dengan gerakan perlawanan, mengangkat senjata untuk berperang.
Baca juga artikel lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.