Pemerintah Inggris Siapkan Rencana C untuk Atasi Covid-19 Varian Omicron
Baru saja perkenalkan Rencana B, pemerintah Inggris sudah siapkan Rencana C untuk atasi penyebaran varian Omicron Covid-19.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sedang mempertimbangkan untuk menerapkan pembatasan virus corona "Rencana C" yang lebih ketat.
Langkah-langkah Rencana B baru saja diumumkan dalam upaya mengekang penyebaran varian Omicron.
Namun kini para menteri dilaporkan menyusun rencana baru yang lebih ketat untuk tahun baru.
Rencana B yang diumumkan oleh Perdana Menteri pada hari Rabu (8/12/2021) lalu di antaranya diberlakunya kembali bekerja dari rumah, perlunya paspor vaksin untuk acara-acara besar dan diwajibkannya memakai masker.
Secara spesifik Rencana C belum ditetapkan.
Tetapi Manchester Evening News melaporkan Rencana C meliputi diharuskannya masyarakat untuk check-in dengan aplikasi NHS Covid saat masuk pub dan restoran.
Baca juga: Ingatkan Omicron Jadi Ancaman Baru, IMF Akan Berikan Fasilitas SDR ke Negara Anggota G20
Baca juga: Ingatkan Omicron Jadi Ancaman Baru, IMF Akan Berikan Fasilitas SDR ke Negara Anggota G20
Masker juga menjadi hal wajib dipakai di semua tempat di dalam ruangan dan paspor vaksin dapat diperpanjang.
Tinjauan terhadap langkah-langkah Rencana B diharapkan dilakukan pada 5 Januari.
Sebelumnya PM mengatakan langkah-langkah "proporsional dan bertanggung jawab" dapat ditinjau sebelum itu jika dianggap perlu.
Oleh karena itu, pembatasan yang lebih ketat bisa saja diterapkan pada awal Januari tergantung pada bagaimana situasi Omicron selama musim liburan mendatang.
Dilansir Daily Star, varian Omicron diprediksi menjadi varian paling dominan dari Covid-19.
Analisis awal menunjukkan kemungkinan ada beberapa tingkat pengurangan efektivitas vaksin terhadap varian ini.
Para menteri di Inggris telah menghadapi kritik karena memperkenalkan langkah-langkah yang lebih keras.
Muncul kemarahan di Partai Konservatif yang dipicu oleh kecurigaan bahwa pembatasan baru dilakukan sebagai upaya untuk mengalihkan isu dari skandal perdana menteri.
Johnson diduga menggelar pesta staf di Downing Street selama lockdown Desember lalu.
Meskipun begitu, Profesor John Edmunds, anggota Kelompok Penasihat Ilmiah untuk Keadaan Darurat (Sage), mengatakan pembatasan adalah "kejahatan yang diperlukan."
Dia mengatakan kepada pengarahan Royal Society of Medicine:
"Saya pikir itu adalah kejahatan yang diperlukan… Pembatasan akan sangat merusak sebagian ekonomi, sektor perhotelan, sektor ritel khususnya – mereka akan terpengaruh."
"Sayangnya, kita harus melakukannya."
"Tingkat penyebaran virus ini berlipat ganda setiap dua atau tiga hari."
WHO: Omicron Menyebar di 57 Negara, tapi Masih Terlalu Dini untuk Menyebut Varian Ini Lebih Menular
Varian Covid-19 Omicron kini telah ditemukan di 57 negara dan terus menyebar dengan cepat di Afrika Selatan, ungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seperti dilansir The Guardian, Kamis (9/12/2021).
Namun demikian, laporan epidemiologi terbaru dari WHO mengatakan varian Delta masih dominan, terutama di Eropa dan AS.
Karena itu, masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan tentang dampak global dari varian Omicron.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa memperkirakan varian Omicron bisa menjadi varian dominan di Eropa dalam beberapa bulan.
Namun, untuk saat ini, varian Delta terus mendominasi, dan lebih banyak data diperlukan untuk menentukan tingkat penularan dan tingkat keparahan Omicron, kata WHO.
"Meskipun tampaknya ada bukti bahwa varian Omicron mungkin memiliki keunggulan pertumbuhan dibandingkan varian lain yang beredar, belum diketahui apakah hal itu berpengaruh langsung dalam peningkatan penularan," kata WHO dalam laporannya.
Baca juga: WHO Minta Dunia Bertindak untuk Tekan Penyebaran Omicron
Baca juga: Pfizer-BioNTech Klaim Suntikan Booster Mampu Menangkal Omicron
Dari 899.935 sampel uji Covid-19 yang diurutkan dan diunggah ke database global Covid dalam 60 hari terakhir, 897.886 (99,8%) terkonfirmasi sebagai varian Delta, sedangkan 713 (0,1%) adalah Omicron.
Laporan WHO mengatakan Afrika Selatan melaporkan 62.021 kasus antara 29 November hingga 5 Desember – naik 111% dari minggu sebelumnya.
Negara itu juga mengalami peningkatan 82% dalam penerimaan pasien di rumah sakit karena Covid-19 selama seminggu hingga 4 Desember, atau 912 penerimaan dibandingkan dengan 502 pada minggu sebelumnya.
Namun belum diketahui berapa banyak kasus tersebut yang disebabkan oleh Omicron.
Omicron tampaknya menyebar dengan cepat di Afrika Selatan meskipun tingkat infeksi Covid-19 di masa lalu terbilang tinggi.
Perkiraan menunjukkan antara 60% dan 80% dari populasi sebelumnya telah terinfeksi.
Tingkat vaksinasi masih rendah, sekitar 35%.
Data masih terlalu terbatas untuk mengetahui dengan pasti apakah Omicron mengubah tingkat keparahan penyakit.
Pada 6 Desember, semua 212 kasus Omicron yang dikonfirmasi di 18 negara Uni Eropa diklasifikasikan tanpa gejala atau gejala ringan.
WHO mengatakan bahkan jika tingkat keparahannya sama atau bahkan berpotensi lebih rendah daripada varian Delta, diprediksi rawat inap akan meningkat jika lebih banyak orang terinfeksi.
"Informasi lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami gambaran klinis dari mereka yang terinfeksi varian Omicron," kata laporan itu.
WHO mengatakan bahwa data awal menunjukkan mutasi pada varian Omicron dapat mengurangi kemampuan kekebalan alami untuk melindungi seseorang terhadap infeksi ulang setelah sebelumnya terpapar virus.
Omicron membawa mutasi yang dapat mengurangi kemampuan antibodi yang dihasilkan dari kekebalan alami untuk melindungi terhadap virus.
Tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi kemampuannya untuk menginfeksi kembali kasus yang dikonfirmasi sebelumnya atau orang yang divaksinasi.
Laporan tersebut menyimpulkan banyak pertanyaan tentang varian Omicron masih belum terjawab.
Tetapi informasi lebih lanjut akan muncul dalam beberapa minggu mendatang.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)