Invasi Rusia ke Ukraina Tak Bisa Diprediksi, Gedung Putih Klaim Bisa Kapan Saja
Vladimir Putin disebut telah memutuskan menyerang Ukraina dan memprediksi serangan itu akan dimulai pada 16 Februari mendatang.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Hal tersebut ia katakan dalam perjalanan menuju Kiev dan Moskow untuk menyerukan pembicaraan keamanan karena adanya potensi besar konflik militer antara Rusia dan Ukraina.
Surat kabar Jerman Der Spiegel melaporkan pada hari Jumat (11/02) bahwa militer Rusia, yang memiliki lebih dari 100.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina, dapat menyerang pada hari Rabu (16/2/2022), mengutip sumber-sumber intelijen. Pejabat AS pada hari Minggu (13/02) mengatakan mereka tidak dapat mengkonfirmasi laporan tersebut.
"Kami tidak dapat memprediksi hari tersebut dengan sempurna, tetapi kami sekarang telah mengatakan untuk beberapa saat bahwa kita semakin dekat, dan invasi dapat dimulai – aksi militer besar dapat dimulai – oleh Rusia di Ukraina kapan saja sekarang. Itu termasuk pekan mendatang sebelum Olimpiade berakhir," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan.
Rusia membantah memiliki rencana untuk menyerang Ukraina dan mengatakan tindakannya merupakan tanggapan terhadap agresi oleh negara-negara NATO.
"Jika terjadi agresi militer terhadap Ukraina yang mengancam integritas dan kedaulatan teritorialnya, akan ada sanksi keras yang telah kami persiapkan dengan hati-hati dan yang dapat segera kami terapkan, bersama dengan sekutu kami di NATO dan Eropa," kata Scholz.
Scholz tidak menjelaskan secara spesifik sanksi apa yang akan ia jatuhkan, tetapi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) sebelumnya telah memperingatkan akan menargetkan bank-bank Rusia untuk dijatuhkan sanksi. Proyek pipa gas Nord Stream 2, yang sedang menunggu persetujuan peraturan Jerman untuk mengirimkan gas Rusia ke Eropa di bawah Laut Baltik, juga dapat dihentikan.
Scholz dijadwalkan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada hari Senin (14/02) dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada keesokan harinya, Selasa (15/02). Namun, tapmpaknya Berlin tidak berekspektasi tinggi akan "hasil nyata" dari pembicaraan itu.
Dilansir kantor berita Reuters, Scholz akan menjelaskan bahwa negara-negara Barat bersatu dan agresi apa pun yang dilakukan Rusia akan memicu "sanksi yang menyakitkan dan berat" terhadap Rusia.
Wakil Kanselir dan juga Menteri Ekonomi Robert Habeck menegaskan pada hari Minggu (13/02) bahwa Eropa mungkin berada di ambang perang. "Itu benar-benar menindas dan mengancam," ujar Habeck dalam wawancaranya dengan media RTL/NV.
Tak lama setelah terpilih kembali sebagai presiden Jerman pada hari Minggu (13/02), Frank-Walter Steinmeier meminta Putin untuk "melepaskan ikatan di leher Ukraina."
"Perdamaian tidak dapat terjadi begitu saja. Ini harus dibangun dalam dialog dan bila perlu, dengan kata-kata yang jelas, pencegahan, dan tekad," lanjut Steinmeier.
Harapan untuk terobosan diplomatik
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan diplomasi masih bisa menyelesaikan kebuntuan antara Rusia dan Ukraina. Ia juga menambahkan bahwa risiko invasi Rusia cukup tinggi untuk menjamin penarikan staf kedutaan AS keluar dari Kiev.
"Jalan diplomatik tetap terbuka. Cara Moskow menunjukkan bahwa mereka ingin menempuh jalan itu sederhana. Itu harus dikurangi, bukan meningkat," kata Blinken pada hari Sabtu (12/07) di Hawaii.