Invasi Rusia ke Ukraina Tak Bisa Diprediksi, Gedung Putih Klaim Bisa Kapan Saja
Vladimir Putin disebut telah memutuskan menyerang Ukraina dan memprediksi serangan itu akan dimulai pada 16 Februari mendatang.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Media Amerika Serikat (AS) Jumat lalu menyatakan Presiden Rusia Vladimir Putin telah memutuskan menyerang Ukraina, dan memprediksi serangan itu akan dimulai pada 16 Februari mendatang.
Pemerintah AS menggunakan laporan-laporan tersebut untuk meminta semua warganya segera keluar dari Ukraina. Sementara itu, Presiden Ukraina telah meminta media memberikan informasi lebih lanjut terkait kabar tersebut.
Dikutip dari Sputnik News, Senin (14/2/2022), Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina kini dapat dimulai kapan saja, Gedung Putih pun tidak dapat memprediksi hari tertentu.
"Sebuah aksi militer besar Rusia di Ukraina bisa kapan saja dimulai. Cara mereka membangun kekuatan, cara mereka melakukan manuver di tempat, menciptakan kemungkinan besar akan ada aksi militer besar segera," kata Sullivan, pada hari Minggu kemarin.
Baca juga: Khawatir Invasi Rusia, AS Tarik Staf Kedutaan dari Ukraina
Sullivan menekankan bahwa AS tidak akan mengizinkan Rusia untuk memulai serangan 'kejutan' terhadap Ukraina.
AS juga berjanji untuk terus berbagi intelijen dan memperingatkan dunia agar bersiap menghadapi Rusia yang akan berdalih untuk membenarkan invasi.
Baca juga: Rusia Tuduh Barat Sebarkan Disinformasi terkait Ukraina: Tutupi Tindakan Agresif Mereka Sendiri
"Kami siap untuk terus bekerja dalam diplomasi, kami juga siap untuk menanggapi secara bersatu dan tegas dengan sekutu serta mitra kami jika Rusia melanjutkan aksinya," tegas Sullivan.
Dalam wawancara terpisah dengan Fox News hari Minggu kemarin, Juru Bicara Pentagon John Kirby mengatakan bahwa dirinya tidak dapat mengkonfirmasi laporan yang ditulis oleh Politico pada Jumat lalu bahwa Rusia akan memulai invasi ke Ukraina pada 16 Februari 2022.
Baca juga: Harga Minyak Cetak Level Tertinggi, Imbas Ancaman Invasi Ukraina oleh Rusia
"Saya tidak dalam posisi untuk mengkonfirmasi laporan itu, kami ingin berhati-hati dalam berbicara di depan umum tentang intelijen dan sumber serta metode dan hal semacam itu. Yang dapat saya katakan kepada anda adalah kami percaya aksi militer besar dapat terjadi kapan saja sekarang," kata Kirby.
Ia tampaknya membaca situasi dari poin pembicaraan yang sama dengan Sullivan sebelum penampilan televisinya.
"Sekali lagi, penilaian ini datang dari berbagai sumber, dan tidak secara eksklusif hanya di dalam intelijen, namun juga dari apa yang kami lihat di depan mata. Lebih dari 100.000 tentara ini sekarang terus ditempatkan di perbatasan Ukraina," ujar Kirby.
"Saya pikir mosaik intelijen yang kita lihat tidak berbicara secara khusus, namun anda tahu kami memiliki sumber intelijen yang baik dan mereka memberitahu kami terkait hal-hal semacam membangun peluang crescendo untuk Putin," tegas Kirby.
Tarik Sisa Diplomat
Terkait dengan kian memanasnya konflik Rusia dan Ukraina ini, Pemerintah Amerika Serikat (AS) sendiri sudah bersiap menarik semua personel diplomatiknya yang tersisa dari Ukraina dalam satu hingga dua hari ke depan.
Departemen Luar Negeri AS pada Sabtu lalu mengatakan bahwa negaranya sedang merelokasi beberapa personel diplomatiknya dari ibukota Ukraina, Kiev ke kota Lviv di tengah peningkatan risiko keamanan.
Semua warga AS di Ukraina didesak meninggalkan Ukraina sesegera mungkin.
Dikutip dari Sputnik News, Senin (14/2/2022), menurut Kedutaan Besar AS di Ukraina, Polandia telah setuju untuk membantu warga Amerika meninggalkan Ukraina dengan menyederhanakan prosedur masuk.
CBS hari Minggu kemarin melaporkan bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden 'sedang bersiap untuk menarik semua personel AS dari Kiev dalam 24 hingga 48 jam ke depan'.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam konferensi pers di Honolulu, Hawaii, Sabtu lalu mengatakan, keberangkatan sebagian besar staf Amerika di Kedutaan AS di Kiev diperintahkan karena 'risiko tindakan militer Rusia cukup tinggi dan ancaman sudah cukup dekat'.
Sehingga, ini adalah langkah yang cukup bijaksana untuk dilakukan.
Kendati demikian, Blinken menekankan bahwa tim inti diplomatik AS akan tetap berada di Ukraina untuk terus bekerja di sana bersama rekan-rekan Ukraina.
Dalam beberapa bulan terakhir, negara Barat dan Ukraina telah menuduh Rusia membangun pasukan di dekat perbatasan Ukraina sebagai persiapan untuk melancarkan 'invasi'.
Namun Rusia membantah tuduhan tersebut dan berulang kali menyatakan bahwa itu tidak mengancam siapapun.
Pada saat yang sama, Rusia juga mengungkapkan keprihatinan yang besar atas aktivitas militer NATO di dekat perbatasan Rusia, yang dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasionalnya.
Rusia juga mengklaim negaranya memiliki hak untuk memindahkan pasukan di dalam wilayah nasionalnya.
Jerman Ikut Resah
Kanselir Jerman Olaf Scholz pada hari Minggu (13/02) mendesak Moskow untuk meredakan ketegangan dengan Ukraina dan memperingatkan Rusia bahwa mereka akan menghadapi sanksi "segera" jika menyerang tetangganya itu.
Hal tersebut ia katakan dalam perjalanan menuju Kiev dan Moskow untuk menyerukan pembicaraan keamanan karena adanya potensi besar konflik militer antara Rusia dan Ukraina.
Surat kabar Jerman Der Spiegel melaporkan pada hari Jumat (11/02) bahwa militer Rusia, yang memiliki lebih dari 100.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina, dapat menyerang pada hari Rabu (16/2/2022), mengutip sumber-sumber intelijen. Pejabat AS pada hari Minggu (13/02) mengatakan mereka tidak dapat mengkonfirmasi laporan tersebut.
"Kami tidak dapat memprediksi hari tersebut dengan sempurna, tetapi kami sekarang telah mengatakan untuk beberapa saat bahwa kita semakin dekat, dan invasi dapat dimulai – aksi militer besar dapat dimulai – oleh Rusia di Ukraina kapan saja sekarang. Itu termasuk pekan mendatang sebelum Olimpiade berakhir," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan.
Rusia membantah memiliki rencana untuk menyerang Ukraina dan mengatakan tindakannya merupakan tanggapan terhadap agresi oleh negara-negara NATO.
"Jika terjadi agresi militer terhadap Ukraina yang mengancam integritas dan kedaulatan teritorialnya, akan ada sanksi keras yang telah kami persiapkan dengan hati-hati dan yang dapat segera kami terapkan, bersama dengan sekutu kami di NATO dan Eropa," kata Scholz.
Scholz tidak menjelaskan secara spesifik sanksi apa yang akan ia jatuhkan, tetapi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) sebelumnya telah memperingatkan akan menargetkan bank-bank Rusia untuk dijatuhkan sanksi. Proyek pipa gas Nord Stream 2, yang sedang menunggu persetujuan peraturan Jerman untuk mengirimkan gas Rusia ke Eropa di bawah Laut Baltik, juga dapat dihentikan.
Scholz dijadwalkan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada hari Senin (14/02) dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada keesokan harinya, Selasa (15/02). Namun, tapmpaknya Berlin tidak berekspektasi tinggi akan "hasil nyata" dari pembicaraan itu.
Dilansir kantor berita Reuters, Scholz akan menjelaskan bahwa negara-negara Barat bersatu dan agresi apa pun yang dilakukan Rusia akan memicu "sanksi yang menyakitkan dan berat" terhadap Rusia.
Wakil Kanselir dan juga Menteri Ekonomi Robert Habeck menegaskan pada hari Minggu (13/02) bahwa Eropa mungkin berada di ambang perang. "Itu benar-benar menindas dan mengancam," ujar Habeck dalam wawancaranya dengan media RTL/NV.
Tak lama setelah terpilih kembali sebagai presiden Jerman pada hari Minggu (13/02), Frank-Walter Steinmeier meminta Putin untuk "melepaskan ikatan di leher Ukraina."
"Perdamaian tidak dapat terjadi begitu saja. Ini harus dibangun dalam dialog dan bila perlu, dengan kata-kata yang jelas, pencegahan, dan tekad," lanjut Steinmeier.
Harapan untuk terobosan diplomatik
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan diplomasi masih bisa menyelesaikan kebuntuan antara Rusia dan Ukraina. Ia juga menambahkan bahwa risiko invasi Rusia cukup tinggi untuk menjamin penarikan staf kedutaan AS keluar dari Kiev.
"Jalan diplomatik tetap terbuka. Cara Moskow menunjukkan bahwa mereka ingin menempuh jalan itu sederhana. Itu harus dikurangi, bukan meningkat," kata Blinken pada hari Sabtu (12/07) di Hawaii.
Beberapa negara lain, termasuk Jerman, telah menyarankan warganya untuk meninggalkan Ukraina.
Kesibukan pertemuan dan panggilan telepon dalam beberapa hari terakhir antara pejabat tinggi Barat dan Rusia tidak menghasilkan tanda-tanda terobosan untuk menyelesaikan meningkatnya ketegangan selama beberapa minggu terakhir di Ukraina.
Dalam panggilan telepon selama satu jam pada hari Sabtu (12/02), Presiden AS Joe Biden mengatakan kepada Putin bahwa Barat akan menanggapi dengan tegas setiap invasi, menambahkan langkah seperti itu akan menghasilkan penderitaan yang meluas dan mengisolasi Moskow.
Sementara Putin mengatakan Rusia menginginkan jaminan keamanan dari Barat yang mencakup memblokir bergabungnya Ukraina ke dalam NATO, menahan diri dari penyebaran rudal di dekat perbatasan Rusia, dan mengurangi infrastruktur militer NATO di Eropa.
Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace memperingatkan agar tidak menaruh terlalu banyak harapan dalam pembicaraan, dengan mengatakan "ada bau Munich di udara dari beberapa orang di Barat," mengacu pada pakta tahun 1938 yang gagal menghentikan ekspansionisme Jerman di bawah Adolf Hitler.
"Hal yang mengkhawatirkan adalah, terlepas dari peningkatan diplomasi dalam jumlah besar, pembangunan militer itu terus berlanjut," katanya kepada surat kabar The Sunday Times.