Invasi Dimulai, Boris Johnson akan Jatuhkan Sanksi agar Putin Sadar Telah Memicu Perang Besar
Invasi Rusia ke Ukraina dikabarkan telah dimulai dan ini membuat Inggris akan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Invasi Rusia ke Ukraina dikabarkan telah dimulai.
Dugaan ini membuat Inggris akan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Mengutip CNA, penjatuhan sanksi ini disampaikan seorang Menteri senior Inggris pada Selasa (22/2/2022) saat Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson memimpin pertemuan darurat atas krisis Ukraina.
Adapun, invasi dimulai ketika Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pengerahan pasukan ke dua wilayah yang memisahkan diri di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk setelah mengakui kemerdekaan mereka pada hari Senin.
Pengerahan pasukan ini dianggap mempercepat krisis yang dikhawatirkan negara-negara Barat dapat memicu perang besar.
Seorang saksi mata Reuters melihat tank dan perangkat militer lainnya bergerak melalui wilayah separatis Ukraina.
Baca juga: Hubungan dengan Rusia Memanas, 10 Maskapai Hentikan Penerbangan ke Ukraina
Tank itu menguasai kota Donetsk setelah Putin secara resmi mengakui daerah-daerah yang memisahkan diri dan memerintahkan pengerahan pasukan Rusia untuk "menjaga perdamaian".
"Anda dapat menyimpulkan bahwa invasi ke Ukraina telah dimulai," kata Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid kepada Sky News.
"Rusia, Presiden Putin, telah memutuskan untuk menyerang kedaulatan Ukraina dan integritas teritorialnya," tambahnya.
"Kami akan memberlakukan sanksi seperti yang kami katakan akan selalu kami lakukan," katanya.
Sementara, Johnson menyebut akan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Ia juga menargetkan pada entitas di Donbass, Luhansk dan Donetsk.
Baca juga: Presiden Vladimir Putin Tempatkan Pasukan Rusia di Wilayah Separatis Ukraina
"Kami akan segera menerapkan paket sanksi ekonomi," kata Johnson kepada wartawan setelah pertemuan tanggap darurat pemerintah.
"Ini, harus saya tekankan, hanya rentetan pertama sanksi ekonomi Inggris terhadap Rusia, karena kami khawatir akan ada lebih banyak perilaku irasional Rusia yang akan datang," tegasnya.
Inggris telah mengancam akan memotong akses perusahaan Rusia ke dolar AS dan pound Inggris.
Menghalangi mereka dari peningkatan modal di London dan untuk mengekspos apa yang disebut Johnson sebagai "boneka Rusia" dari properti dan kepemilikan perusahaan.
Inggris belum menjelaskan siapa yang akan terkena sanksi ekonomi ini.
Tetapi, Inggris telah berjanji tidak akan ada tempat bagi oligarki Rusia untuk bersembunyi.
Menurut Johnson, target dapat mencakup bank-bank Rusia.
Ratusan miliar dolar telah mengalir ke London dan wilayah luar negeri Inggris dari Rusia sejak jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.
Dan London telah menjadi kota pilihan Barat bagi Rusia yang sangat kaya dan bekas republik Soviet lainnya.
Johnson berharap, Putin akan menyadari bahwa dia telah "sangat salah perhitungan" karena melakukan invasi ke Ukraina.
Baca juga: Jerman Setop Persetujuan Pipa Gas Nord Stream 2, Buntut Rusia Kerahkan Pasukan ke Ukraina
Namun ia juga menambahkan bahwa Moskow tampaknya bertekad untuk melakukan invasi skala penuh terhadap bekas tetangga Sovietnya.
"Saya pikir tragedi situasi saat ini adalah bahwa Presiden Putin telah mengelilingi dirinya dengan penasihat yang berpikiran sama yang mengatakan kepadanya bahwa Ukraina bukanlah negara yang tepat."
"Dan saya pikir dia akan menemukan bahwa dia telah salah perhitungan," kata Johnson.
Invasi Rusia ke Ukraina telah menciptakan situasi yang sama buruknya dengan krisis rudal Kuba tahun 1962, ketika konfrontasi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet membawa dunia ke ambang perang nuklir, kata menteri kesehatan Johnson.
Krisis rudal Kuba meletus pada tahun 1962 ketika Uni Soviet menanggapi penyebaran rudal AS di Turki dengan mengirimkan rudal balistik ke Kuba.
Johnson berharap, dengan sanksi itu akan memukul ekonomi Rusia dengan keras.
"Mereka akan menyerang Rusia dengan sangat keras, dan masih banyak lagi yang akan kami lakukan jika terjadi invasi," kata Johnson.
(Tribunnews.com/Maliana)