Poseidon, Senjata Pamungkas Putin Jika Akhirnya Harus Perang Habis-habisan Melawan Amerika dan NATO
Sebagai informasi, Rusia memiliki berbagai senjata nuklir taktis di gudang senjatanya, yang dapat dikirim dari platform laut, udara, dan darat.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Di tengah serangan militernya ke Ukraina, Presiden Vladimir Putin telah memerintahkan pasukan nuklir Rusia dalam siaga "khusus".
Pernyataan ini pun langsung meningkatkan kekhawatiran di seluruh dunia.
Sebagai informasi, Rusia memiliki berbagai senjata nuklir taktis di gudang senjatanya, yang dapat dikirim dari platform laut, udara, dan darat.
Satu di antaranya ada yang disebut 'Poseidon'.
Nama terakhir ini menimbulkan rasa penasaran di kalangan pakar militer Barat.
Baca juga: Rusia Ancam Hentikan Pasokan Gas, Krisis Energi Bisa Terjadi di Uni Eropa
Namun, analis pertahanan terkemuka S.I. Sutton yakin Poseidon belum siap.
“Meskipun rumor sebaliknya, kami tidak percaya Poseidon telah dikerahkan. Sistemnya belum cukup siap,” katanya, menulis untuk Naval News.
Ia mengungkapkan, setidaknya hingga kini, tidak ada kapal selam yang "menjadi sarangnya" beroperasi sampai sekarang.
Sarov, misalnya, kapal selam uji yang dapat membawa satu putaran, saat ini dalam pelayanan/berpatroli.
Sedangkan Belgorod, kapal lain, belum ditugaskan.
Dikutip dari Eurasiantimes Poseidon adalah “torpedo otonom bertenaga nuklir antarbenua” atau drone kapal selam nuklir.
Ini adalah torpedo besar yang mampu mendatangkan malapetaka di kota-kota pesisir.
Baca juga: Orang Ukraina Sebut Keluarga Mereka di Rusia Tak Percaya Ada Perang, Kenapa Itu Bisa Terjadi?
Pengamat percaya, meskin dari segi kecepatan senjata ini lebih lambat dibandingkan dengan rudal balistik antarbenua, tetapi jika benar diluncurkan nyaris mustahil untuk membendungnya.
Torpedo Poseidon adalah salah satu arsenal Angkatan Laut Rusia yang sangat besar, dengan diameter sekitar 7 kaki dan berat sekitar 100 ton.
Torpedo ini membawa muatan nuklir, bukan hulu ledak eksplosif tinggi standar.
Target utama Poseidon--tidak seperti kebanyakan torpedo konvensional--tidak harus berupa kapal permukaan atau kapal selam lainnya.
Dengan muatan nuklir besar, torpedo itu malah akan menargetkan kota-kota pelabuhan besar yang penting untuk industri dan perdagangan, seperti yang ditemukan di sepanjang pantai timur dan barat Amerika Serikat.
Mendapat dukungan reaktor nuklir kecil, Poseidon memiliki jangkauan 10.000 kilometer untuk mengarungi lautan dunia.
Meluncur dari Laut Barents atau perairan lain di Kutub Utara, drone bawah air itu bisa melintasi Atlantik Utara.
Jika diledakkan di lepas pantai Timur Amerika Serikat (AS), hulu ledak nuklir yang Poseidon bawa bisa menciptakan gelombang tsunami setinggi puluhan meter di samping kerusakan yang disebabkan oleh ledakan nuklir itu sendiri.
Baca juga: Pasangan Tentara Ukraina Menikah di Tengah Invasi Rusia, Pakai Seragam Militer, Disaksikan Rekannya
Itu sebabnya, Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat (AS) untuk Kontrol Senjata pada Juli 2021 mengatakan, Rusia harus berhenti mengembangkan Poseidon.
Dia melihat Poseidon sebagai "konsep mengerikan".
Menghancurkan kapal induk
Pada Maret 2019, Putin mengungkapkan, Poseidon dilengkapi dengan muatan konvensional dan nuklir serta bisa menghancurkan fasilitas infrastruktur musuh, kapal induk, dan target lainnya.
Pada Juli 2019, Kementerian Pertahanan Rusia merilis sebuah video yang menunjukkan fasilitas tempat drone itu dirakit, dan sebuah film animasi yang menunjukkan bagaimana drone digunakan dalam situasi perang yang sebenarnya.
“Drone memiliki beberapa keunggulan. Kapal selam dengan awak di atas kapal, tentu saja, adalah senjata yang kuat, tetapi ada batasan tertentu pada faktor manusia," kata mantan Kolonel Direktorat Intelijen Utama (GRU) Rusia Alexander Zhilin.
"Poseidon secara praktis bisa waspada dan melakukan tugas kapan saja,” ujar dia kepada Sputnik Radio di bawah kontrol Kremlin pada akhir Mei lalu seperti dikutip The Moscow Times.
Zhilin, Kepala Pusat Studi Masalah Keamanan Nasional Terapan Publik Universitas Lobachevsky, Rusia, menepis kekhawatiran tentang potensi kerentanan drone terhadap peretas dan cyberterrorist.
“Penampilan drone sekelas ini, tentu saja, membutuhkan banyak tanggungjawab karena dikelola melalui perangkat lunak. Jelas bahwa ada risiko tertentu ketika dalam operasi peretas dapat mencoba mengambil kendali," katanya.
"Tetapi, berbicara dengan insinyur dan desainer kami, saya sampai pada kesimpulan bahwa ada perlindungan besar-besaran terhadap gangguan eksternal,” ujar Zhilin kepada Sputnik Radio seperti The Moscow Times kutip.
Dengan kemampuan Poseidon yang bisa menyelam dalam, Rusia dapat melawan sistem pertahanan rudal AS dan memastikan pencegahan dengan kemampuan serangan kedua.
Rencananya, Rusia mengerahkan 16 drone Poseidon pada gugus tugas tempur Armada Utara.
Dua kapal selam tujuan khusus, Belgorod dan Khabarovsk, akan membawa Poseidon. Kedua kapal selam itu dibangun di Sevmash, Severodvinsk.
Belgorod adalah kapal selam prototipe dari kapal selam bertenaga nuklir kelas-II Oscar. Meluncurkan pada April 2019 dan akan memulai uji coba laut dalam beberapa bulan.
Kapal selam kedua yang membawa Poseidon adalah Khabarovsk. Kapal selam prototipe khusus dari kapal selam rudal balistik generasi keempat Rusia kelas Borei.
Kapal Perang Rusia Diserang di Laut Hitam
Angkatan Bersenjata Ukraina diklaim telah menabrak kapal perang angkatan laut Rusia di Laut Hitam.
Pernyataan ini disampaikan Juru bicara Markas Besar Operasional Administrasi Militer Daerah Odesa, Ukraina, Serhiy Bratchuk, dikutip dari laman Ukrinform, Senin (7/3/2022).
"Kami akan menghancurkan musuh, minus satu kapal perang musuh, musuh menderita kerugian. Kerja bagus, kalian. Kemuliaan bagi Angkatan Bersenjata," kata Bratchuk.
Kendati demikian, markas operasional itu tidak memberikan rincian terkait serangan terhadap kapal perang musuh ini.
"Belum ada konfirmasi apakah itu kapal patroli atau kapal roket, tapi yang pasti minus satu kapal," kata Bratchuk.
Perang telah berlangsung di Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Menurut Ukraina, pasukan Rusia telah menembaki dan menghancurkan infrastruktur utama dan rumah tangga.
Darurat militer kemudian diberlakukan di Ukraina dan mobilisasi pun diumumkan.
Ukraina bahkan telah secara resmi mengajukan gugatan terhadap Federasi Rusia ke Pengadilan Kriminal Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Den Haag, Belanda.
Sementara alasan Rusia melancarkan operasi militer khusus di Ukraina adalah karena Ukraina dinilai gagal mengimplementasikan perjanjian Minsk dan menyelesaikan konflik di Donbass secara damai.
Presiden Rusia Vladimir Putin pun mengatakan bahwa negaranya tidak punya pilihan lain selain bertindak, setelah berminggu-minggu terjadi aksi penembakan terhadap Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Lugansk (LPR) yang diklaim dilakukan pasukan Ukraina.
Dengan demikian, ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk melakukan demiliterisasi dan denazifikasi negara tetangganya itu.