Analisis Pakar Qatar Jelaskan Politik Labelisasi Negatif ke Vladimir Putin
Ini adalah taktik dalam persaingan politik internasional yang selalu ada, untuk menjelek-jelekkan, membuat karikatur, menurunkan moral lawan politik.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, DOHA – Pakar hubungan internasional Universitas Qatar, Farhan Mujahid Chak, menyebut kata-kata negatif yang disematkan ke Presiden Rusia Vladimir Putin adalah taktik persaingan politik.
“Kami secara rutin mendengar kata-kata seperti "jahat", "tidak tertekuk", dan "tidak stabil" yang digunakan untuk menggambarkan Vladimir Putin,” kata Mujahid Chak lewat ulasannya di Aljazeera.com, Sabtu (19/3/2022).
Pelabelan seperti itu menurutnya tidak jarang terjadi dalam realpolitik.
Ini adalah taktik dalam persaingan politik internasional yang selalu ada, untuk menjelek-jelekkan, membuat karikatur, dan menurunkan moral lawan politik.
Pembuat narasi juga hendak meyakinkan mereka yang berada di sayap ideologis sama. Saddam Hussein dulu juga kerap dilabeli "orang gila," Kadhafi sebagai "gila," atau Putin sebagai "megalomaniak."
Label semacam itu melayani tujuan politik yang lebih luas dengan menyederhanakan konflik apa pun menjadi pembagian jelas antara yang "baik" versus "jahat".
Baca juga: Cina Salahkan NATO, Peringatkan AS yang Tekan Beijing Agar Tak Dukung Rusia
Baca juga: Analis Yakin China Tak Mau Terseret Konflik Rusia-Ukraina demi Kepentingannya
Israel menurut Mujahid Chak sering memanjakan diri menggunakan pembingkaian semacam itu untuk mendelegitimasi orang Palestina.
Bahkan mempertanyakan kecerdasan mereka, dengan mengulangi kiasan mereka “tidak pernah kehilangan kesempatan untuk kehilangan kesempatan”.
Demikian juga, para pembela aksi pendudukan, militerisasi dan kolonisasi Kashmir di India menunjuk warga Kashmir yang menuntut pemenuhan resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai “teroris,” “pemisahan diri” atau “anti-nasional.”
Pembingkaian seperti itu sekarang digunakan untuk menjelaskan invasi Rusia ke Ukraina, sebuah konstruksi wacana manipulatif yang memfasilitasi kabut perang.
Ketiga, perang Rusia di Ukraina kemungkinan akan berdampak besar pada persaingan AS-Cina. Untuk saat ini, Cina tampaknya berada dalam posisi yang baik untuk mendapatkan keuntungan dari agresi Rusia ke Ukraina.
Ini menyebabkan AS mengambil sikap yang lebih agresif terhadap saingan beratnya. Beijing sekarang punya kesempatan besar membuka jalur ekonomi baru ke Rusia yang membuat Moskow bisa bergantung pada Cina.
Beberapa analis, misalnya, mengangkat kekhawatiran Cina dapat secara sepihak bertindak vis a vis Taiwan, setelah menyaksikan “reaksi lemah barat di Ukraina”.
Sementara invasi Taiwan gaya Ukraina tidak mungkin karena berbagai alasan, Cina dapat mengambil sikap yang lebih agresif di bidang lain jika AS terus menyiratkan tanggung jawab Cina dalam tindakan Rusia.