China Ingatkan Dampak Sanksi ke Rusia akan Menimbulkan Perang Mata Uang dan Dagang
China mengingatkan dunia efek dari sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Rusia menyusul invasi ke Ukraina.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - China mengingatkan dunia efek dari sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Rusia menyusul invasi ke Ukraina.
China menyebut sanksi itu berisiko mengarah ke perang mata uang dan perdagangan.
Pernyataan itu muncul sehari setelah Uni Eropa memperingatkan Beijing dalam pertemuan puncak virtual Uni Eropa-China pada Jumat (1/4/2022).
Wang Lutong, Direktur Jenderal Urusan Eropa Kementerian Luar Negeri China, menyatakan China berkontribusi pada ekonomi global dengan melakukan perdagangan normal dengan Rusia.
"China bukan pihak terkait dalam krisis Ukraina. Kami tidak berpikir perdagangan normal kami dengan negara lain harus terpengaruh," katanya, Sabtu (2/4/2022) seperti dikutip Reuters.
Baca juga: BREAKING NEWS: Eropa Dilanda Inflasi Tinggi 7,5%, Harga Barang Meroket Dipicu Sanksi Energi Rusia
China telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi dan berulang kali mengkritik sanksi Barat sebagai ilegal dan sepihak.
"Kami menentang sanksi, dan efek dari sanksi ini juga berisiko menyebar ke seluruh dunia, yang mengarah ke perang mata uang, perang perdagangan dan keuangan," ungkap Wang.
"Dan juga berisiko membahayakan rantai pasokan dan rantai industri dan globalisasi dan bahkan tatanan ekonomi," sebutnya.
Dampak Sanksi ke Rusia
Sanksi negara-negara Barat ke Rusia mulai berdampak.
Eropa dilanda inflasi yang sangat tinggi.
Hari ini, inflasi di benua negara-negara maju itu melonjak ke rekor baru.
Demikian menurut angka baru Uni Eropa yang dirilis pada Jumat (1/4/2022).
Ini merupakan tanda baru bahwa kenaikan harga energi yang dipicu oleh perang Rusia di Ukraina menekan konsumen dan menambah tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga,
Melansir Associated Press, harga barang-barang konsumen di 19 negara yang menggunakan mata uang euro naik dengan tingkat tahunan 7,5 persen di bulan Maret, menurut badan statistik Uni Eropa, Eurostat.
Angka inflasi terbaru ini meruntuhkan rekor tertinggi bulan lalu ketika mencapai 5,9 persen.
Bulan kelima berturut-turut inflasi di zona euro mencatat rekor tingkat inflasi.
Rekor baru ini membawa inflasi ke level tertinggi sejak pencatatan untuk euro dimulai pada tahun 1997.
Naiknya harga barang-barang konsumen adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia.
Ini membuat semua warga kian sulit membeli segala sesuatu.
Mulai dari bahan makanan hingga membayar tagihan listrik mereka.
Melonjaknya biaya energi adalah faktor utama yang mendorong inflasi di Eropa.
Harga energi melonjak 44,7 presen bulan lalu, kata Eurostat, naik dari 32 persen di Februari.
Harga minyak dan gas melonjak karena meningkatnya permintaan dari ekonomi yang baru pulih dari kedalaman jurang pandemi Covid-19.
Inflasi melonjak lebih tinggi setelah Rusia, produsen minyak dan gas utama, menginvasi Ukraina.
Peristiwa tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa sanksi atas Rusia dan pembatasan ekspor dapat menghambat pasokan.
Di sebuah pasar rakyat di Cologne, Jerman, seorang konsumen, Andreas Langheim mengeluhkan bagaimana hidup menjadi lebih mahal.
"Saya bisa melihat efek kenaikan harga, terutama di pasar ini," kata Langheim, 62 tahun, sambil mengambil roti dari toko roti.
"Semuanya lebih mahal sekarang."
Angka-angka terbaru itu, kata para analisis, kian mendesak Bank Sentral Eropa untuk mengambil tindakan.
Bank berusaha menyeimbangkan rekor inflasi dengan ancaman bahwa perang bisa merugikan ekonomi yang sebelumnya sudah berada di bawah tekanan.
Bulan lalu, Bank Sentral Eropa mempercepat upaya keluar dari stimulus ekonomi untuk memerangi inflasi. Namun, Bank Sentral Eropa belum mengambil tindakan lebih drastis.
"Kami berpikir bahwa ECB (European Central Bank) akan segera menyimpulkan mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi sebelum mulai menaikkan suku bunga," Jack Allen-Reynolds, ekonom senior Eropa di Capital Economics, dalam sebuah laporan.
Bank sentral lain mulai menaikkan suku bunga. Ini termasuk Amerika Serikat, yang inflasinya melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sebesar 7,9 persen.
Negara-negara Eropa yang tidak menggunakan euro, termasuk Inggris, Norwegia, dan Republik Ceko juga melakukan hal yang sama, yaitu menaikkan suku bunga.
Di zona euro, ada kenaikan harga untuk kategori pengeluaran lain selain energi.
Biaya makanan, alkohol, dan tembakau naik 5 persen, dibandingkan dengan 4,2 persen di bulan sebelumnya.
Sementara, harga barang-barang seperti pakaian, peralatan, mobil, komputer, dan buku naik 3,4 persen, naik dari 3,1 persen. Ongkos layanan naik 2,7 persen, dibandingkan 2,5 persen sebelumnya.
Perdana Menteri Italia Mario Draghi, mantan presiden Bank Sentral Eropa, menguraikan bagaimana masalah tersebut menimpa kalangan rumah tangga.
“Inflasi naik karena harga bahan baku naik, khususnya untuk bahan makanan. Merekalah (inflasi) yang paling memukul daya beli keluarga,'' kata Draghi kepada wartawan asing, Kamis (31/3).
“Kekurangan beberapa bahan baku menciptakan hambatan dalam produksi dan memaksa kenaikan harga lebih lanjut,” tambah Draghi.
Draghi mengatakan, selama inflasi tetap bersifat sementara, pemerintah dapat merespons dengan langkah-langkah anggaran.
Misalnya, membantu keluarga berpenghasilan rendah dengan biaya pemanas dan listrik yang lebih tinggi.
Tetapi jika itu menjadi masalah jangka panjang, responsnya harus struktural, katanya.
Putin Terus Mengancam
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam akan menutup pasokan gas jika negara-negara asing tak bersahabat karena tak mau membayar dengan rubel.
Putin sebelumnya telah menandatangani dekrit yang menegaskan negara pembeli gas harus membuka rekening rubel di bank Rusia sejak Jumat (1/4/2022).
Permintaan Putin ini dinilai sebagai aksi untuk meningkatkan nilai rubel, yang sempat terpukul oleh sanksi Barat.
Dengan dekrit yang dikeluarkan itu maka negara asing yang membeli gas Rusia harus membuka rekening di bank Rusia, Gazprombank dan mentransfer euro atas dolar AS ke bank tersebut.
Setelahnya, Gazprombank akan menukarkannya ke rubel yang kemudian digunakan sebagai pembayaran untuk gas.
“Tak ada yang menjual apa pun kepada kami dengan gratis, dan kami juga tidak akan bersedekah. Itu saja, kontrak yang berjalan akan dihentikan,” ancam Putin dikutip dari BBC.
Menurut pengamat dan peneliti dari Institut Studi Energi Oxford, Jack Sharples, meski pembayaran gas dengan rubel efektif pada Jumat, pembeli Eropa tak akan membayarnya hingga pertengahan Mei.
Menurutnya, hal itu tak akan menjadi ancaman segera bagi suplai gas.
Putin mengatakan peralihan pembelian ke mata uang rubel dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan Rusia.
Sumber: Reuters/AP/Kontan.co.id