Rusia Siap Berkontribusi Mengatasi Krisis Pangan Internasional, Jika Barat Mencabut Sanksi
Vladimir Putin dan Perdana Menteri Italia Mario Draghi pada Kamis (26/5/2022) mengadakan diskusi untuk membantu ringankan krisis pangan internasional
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Italia Mario Draghi pada Kamis (26/5/2022) mengadakan diskusi untuk membantu meringankan krisis pangan internasional.
Dikutip dari reuters, Jumat (27/5/2022) pihak Kremlin menuturkan, krisis pangan internasional dapat teratasi jika Barat mencabut sanksi.
"Vladimir Putin menekankan Federasi Rusia siap memberikan kontribusi signifikan untuk mengatasi krisis pangan melalui ekspor biji-bijian dan pupuk, asalkan pembatasan bermotif politik dari Barat dicabut," kata Kremlin.
Baca juga: Cegah Aksi Sabotase, Inggris dan Lithuania Kawal Ekspor Kapal Pengangkut Gandum Ukraina
Di sisi lain, Gedung Putih mengatakan tidak ada pembicaraan yang diadakan tentang pelonggaran sanksi terhadap Rusia untuk mengamankan ekspor biji-bijian.
Dalam konferensi pers yang diadakan pada Kamis malam, Draghi mengambil inisiatif untuk berdiskusi dengan pemimpin Rusia itu.
"Saya merasa itu adalah tugas saya untuk mengambil (inisiatif ini) karena gawatnya krisis kemanusiaan yang dapat mempengaruhi orang-orang termiskin di dunia," kata Draghi.
Putin mengatakan kepadanya bahwa krisis pangan adalah kesalahan sanksi yang diberikan barat.
"Saya tertarik pada masalah yang lebih jelas dan lebih kecil, yaitu mencoba melihat apakah kita dapat membuka blokir biji-bijian dalam jumlah besar ini di pelabuhan Ukraina di Laut Hitam," imbuhnya.
Baca juga: Vladimir Putin Senang Perusahaan Asing Tinggalkan Rusia: Terima Kasih Tuhan
Draghi juga berencana mengadakan diskusi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengenai masalah ini.
Seperti diketahui, blokade pelabuhan di Ukraina oleh Rusia telah mencegah pengiriman biji-bijian, di mana kedua negara merupakan eksportir utama.
Konflik tersebut memicu krisis pangan global dengan membuat harga biji-bijian, minyak goreng, bahan bakar dan pupuk melonjak.