Sekjen NATO Menilai Konflik Rusia-Ukraina Berubah Jadi Perang Gesekan
Sekjen NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan pihaknya mengantisipasi konflik jangka panjang di Ukraina karena invasi Rusia berubah menjadi perang gesekan
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan pihaknya mengantisipasi konflik jangka panjang di Ukraina karena invasi Rusia berubah menjadi perang gesekan.
Bicara kepada pers Gedung Putih setelah bertemu dengan Presiden Joe Biden pada Kamis (2/6/2022), Stoltenberg mengatakan sulit memprediksi kapan dan bagaimana konflik akan berakhir.
"Perang pada dasarnya tidak dapat diprediksi," kata Stoltenberg.
"Dan oleh karena itu, kita hanya harus bersiap untuk jangka panjang karena apa yang kita lihat adalah bahwa perang ini sekarang telah menjadi perang gesekan di mana Ukraina membayar harga tinggi untuk membela negara mereka sendiri di medan perang, tetapi juga di mana kita melihat bahwa Rusia mengambil banyak korban," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa NATO bertanggung jawab memberikan dukungan kepada Ukraina, lapor Al Jazeera.
Baca juga: Oposisi Putin Kumpulkan Daftar Ribuan Orang Penghasut Perang Rusia di Ukraina: Beri Mereka Sanksi
Baca juga: Joe Biden Beri Ukraina Salah Satu Senjata Paling Mematikan, Akankah Membawa Perubahan dalam Perang?
Stoltenberg mengatakan, perang atau konflik pada akhirnya akan berakhir di meja perundingan.
Dalam sebuah pernyataan, Stoltenberg memuji AS atas dukungannya kepada Ukraina selama perang.
"Presiden (Rusia) Putin menginginkan lebih sedikit NATO dan karena itu dia menginvasi Ukraina."
"Tapi dia mendapatkan lebih banyak NATO, dengan lebih banyak kehadiran NATO di bagian timur Aliansi dan juga dengan lebih banyak anggota," kata Stoltenberg, dikutip dari Newsweek.
Ia juga menilai langkah Finlandia dan Swedia untuk mengajukan keanggotaan pada aliansi sebagai keputusan bersejarah.
"Finlandia dan Swedia sebagai anggota NATO akan memperkuat NATO dan juga memperkuat ikatan transatlantik kami," kata Stoltenberg.
Namun permohonan dua negara Nordik itu terganjal Turki, karena dianggap melindungi kelompok teroris yang dilarang Ankara.
Diketahui, anggota baru dapat bergabung jika mendapat persetujuan dari semua 30 negara anggota NATO.
Selain dianggap melindungi teroris, Turki juga keberatan karena Polandia dan Swedia juga membatasi penjualan senjata ke Ankara pada 2019 setelah operasi militer Turki melawan pasukan Kurdi di Suriah utara.