60-100 Tentara Ukraina Meninggal Setiap Hari dalam Perang Melawan Rusia
Pekan ini, Presiden Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa 60-100 serdadu Ukraina tewas dalam pertempuran setiap harinya.
Editor: Hasanudin Aco
Nisan-nisan lain menunjukkan para serdadu yang terbunuh dalam jangka waktu berdekatan, 5, 7, 9, 10 Mei.
Kesibukan dan pemandangan serupa juga terdapat di kuburan-kuburan lain di Zhytomyr dan kota-kota serta desa-desa lain.
Di antara tentara yang menghadiri pemakaman Makhachek pada Jumat (3/6/2022) lalu adalah Jenderal Viktor Muzhenko, kepala staf umum Angkatan Bersenjata Ukraina hingga 2019.
Jenderal Muzhenko memperingatkan bahwa jatuhnya korban jiwa di pihak Ukraina bisa bertambah buruk.
“Ini adalah salah satu momen kritis dalam perang, tetapi ini bukan puncaknya,” kata Muzhenko kepada Associated Press.
“Ini adalah konflik paling signifikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua. Itu menjelaskan mengapa jatuhnya korban sangat besar. Untuk meredam jatuhnya korban, sekarang Ukraina perlu senjata kuat yang bisa menandingi atau bahkan melampaui persenjataan Rusia,” lanjutnya.
Konsentrasi serangan artileri Rusia di front Donbass diyakini menjadi sebab banyaknya korban jiwa di pihak Ukraina.
Letjen Ben Hodges, purnawirawan mantan komandan pasukan Amerika Serikat (AS) di Eropa, mendeskripsikan strategi Rusia sebagai “pendekatan atrisi Abad Pertengahan.”
Atrisi yang dimaksud Hodges adalah pengikisan kekuatan lawan secara terus-menerus.
Menurutnya, AS, Inggris Raya, dan negara-negara Barat lain mesti segera mengirimkan persenjataan berat untuk menghancurkan baterai-baterai artileri Rusia.
“Pertempuran ini jauh lebih mematikan dibanding apa yang kita lihat selama lebih dari 20 tahun di Irak dan Afghanistan, di situ kita tidak menyaksikan jumlah (korban) seperti ini,” kata Letjen Hodges.
Besarnya jumlah korban di pihak Ukraina memunculkan pertanyaan sampai kapan negara itu bisa bertahan dari invasi Rusia.
Ukraina sendiri punya tenaga mengingat populasinya mencapai 41 juta jiwa, tetapi terdapat beragam proses yang memakan waktu.
“Masalahnya adalah perekrutan, pelatihan, dan membawa mereka ke garis depan,” kata Kolonel Mark Cancian, pensiunan marinir AS yang kini menjadi penasihat senior di lembaga wadah pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS).