PBB: Perubahan Iklim dan Perang Ukraina Tingkatkan Angka Pengungsi Dunia
Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) UNHCR menjadi tuan rumah konferensi terkait isu pengungsian di Roma, Italia pada Senin kemarin.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ROMA - Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) UNHCR menjadi tuan rumah konferensi terkait isu pengungsian di Roma, Italia pada Senin kemarin.
Perubahan iklim dan perang di Ukraina pun berada di antara sederet faktor yang mendorong peningkatan tajam perpindahan orang di seluruh dunia.
Juru bicara UNHCR, Carlotta Sami mengatakan bahwa 100 juta orang saat ini telah mengungsi sebagai bagian dari krisis pengungsi yang mempengaruhi setiap benua.
Kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim dan invasi Rusia ke Ukraina yang berdampak pada ketersediaan biji-bijian dan harga bahan bakar telah mengancam ketahanan pangan di seluruh dunia.
Dikutip dari laman Euronews, Selasa (21/6/2022), konferensi di Roma ini dihelat bersamaan dengan peringatan Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada 20 Juni 2022.
Baca juga: 1.500 Warga Ukraina Ditahan di Penjara Rusia, Termasuk Jurnalis hingga Kepala Lembaga Pemerintah
Lembaga tersebut pun menekankan pentingnya menciptakan jalur yang aman dan kebijakan integrasi bagi para migran.
Diantara para delegasi yang hadir, ada pula para pengungsi yang menceritakan tentang kisah mereka sendiri.
Abdullahi Ahmed, yang terpilih sebagai anggota dewan di kota Turin di Italia utara pada 2021, menceritakan tentang masa 7 bulan pengembaraannya melintasi Afrika pada usia 19 tahun, dari rumahnya di Mogadishu, melintasi Sudan, Ethiopia, Libya, Laut Mediterania hingga Italia, tepatnya di Pulau Lampedusa.
Baca juga: Rusia Tak Bisa Jamin Tentara AS di Ukraina Bakal Lolos dari Hukuman Mati
Saat tiba, ia hanya memiliki pakaian yang menempel pada tubuhnya dan mimpi untuk membantu keluarganya kembali ke rumah.
Ahmed merupakan anak tertua dari 7 bersaudara dan selama tinggal di Italia, ia telah menyokong kebutuhan saudara kandungnya untuk mendapatkan gelar medis di Turki dan mengirimkan uang ke keluarganya di Mogadishu.
Pada 2020, Ahmed kemudian menerbitkan buku tentang pengalamannya yang berjudul 'Looking Ahead'.
"Saya menjadi akrab dengan perang pada usia 3 tahun, saya hidup selama 16 tahun di tengah perang saudara Somalia. Saat beranjak remaja, saya menyadari bahwa saya memiliki hak untuk membangun masa depan yang lebih baik, dan saya mengerti tidak mungkin melakukan itu semua di Somalia."
"Saya juga memiliki tanggung jawab, tidak diumumkan secara terbuka, tetapi saya adalah anak tertua dari keluarga yang sangat besar, jadi ini keputusan saya untuk melakukan perjalanan demo membantu memberikan masa depan bagi saudara-saudara saya," tutur Ahmed.
Baca juga: Ukraina Serang Anjungan Pengeboran Minyak di Laut Hitam, 3 Orang Terluka dan 7 Dilaporkan Hilang
Sementara itu Yasmien Abdul Azeem yang kini berusia 33 tahun, melarikan diri dari perang di Suriah dan tinggal di Lebanon.
Ia termasuk diantara pengungsi pertama yang dipilih untuk berpartisipasi dalam koridor kemanusiaan ke Italia pada 2016 lalu.
Sejak saat itu, dirinya bekerja sebagai mediator budaya dan mendirikan bisnis katering yang menyajikan makanan Suriah.
"Saya melarikan diri dari perang, dan saya tinggal sebagai pengungsi di Lebanon selama 2 tahun. Di sanalah saya mengenal Komunitas Sant'Egidio, Koridor Kemanusiaan, Gereja Injili, Sahabat, mereka mengusulkan agar kami datang ke sini (Italia) dan memulai hidup baru. Karena situasinya jauh lebih buruk di Lebanon, ada krisis, konflik politik, banyak masalah," kata Azeem.