Jumlah Anggota NATO jika Finlandia dan Swedia Resmi Gabung NATO
Finlandia dan Swedia akan bergabung NATO, inilah jumlah anggota NATO jika kedua negara gabung.
Penulis: Nuryanti
Editor: Garudea Prabawati
- Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Rumania, Slovakia, dan Slovenia (2004)
- Albania dan Kroasia (2009)
- Montenegro (2017)
- Makedonia Utara (2020)
Baca juga: Perjalanan Swedia dan Finlandia untuk Gabung NATO, Sudah Dapat Dukungan Turki
Waktu yang Dibutuhkan Finlandia dan Swedia untuk Gabung NATO
Saat perang Ukraina berkecamuk, Finlandia dan Swedia secara resmi mendaftar untuk bergabung dengan NATO.
Hal ini menandai berakhirnya netralitas selama beberapa dekade.
Diberitakan Al Jazeera, Parlemen Finlandia telah memberikan suara yang sangat mendukung tentang masalah ini.
Di Swedia, mayoritas legislator mendukung aplikasi tersebut, termasuk dari Partai Sosial Demokrat yang berkuasa selama beberapa dekade dan menentang langkah tersebut.
Baca juga: Turki Cabut Hak Veto, Apa Alasan akhirnya Terima Finlandia-Swedia Gabung NATO?
Meskipun proses keanggotaan NATO tidak diformalkan dan tahapannya dapat bervariasi, langkah pertama biasanya ditetapkan bahwa sebuah negara harus menyatakan minatnya dan secara resmi menyatakan keinginan untuk bergabung.
NATO kemudian akan melakukan diskusi dengan pihak yang bersangkutan.
Dalam hal ini, Swedia dan Finlandia harus memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam “Studi tentang Pembesaran” aliansi tahun 1995.
NATO mengatakan kriteria ini termasuk “sistem politik demokrasi yang berfungsi berdasarkan ekonomi pasar; perlakuan adil terhadap populasi minoritas; komitmen untuk menyelesaikan konflik secara damai; kemampuan dan kemauan untuk memberikan kontribusi militer untuk operasi NATO; dan komitmen terhadap hubungan dan institusi sipil-militer yang demokratis.”
Menurut Alexander Lanoszka, asisten profesor dalam hubungan internasional di Universitas Waterloo, Finlandia dan Swedia telah lama memenuhi persyaratan dasar untuk berada di NATO, paling tidak karena kekuatan institusi demokrasi mereka dan kontrol sipil yang kuat atas militer mereka.
“Dengan demikian, proses untuk bergabung harus lebih cepat dan dengan demikian lebih lancar daripada yang mungkin terjadi di negara-negara yang berada di bawah kekuasaan komunis selama Perang Dingin," ujarnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)