Kenapa Tawaran Proyek Nuklir dari Vladimir Putin Layak Diterima Jokowi? Ini Penjelasan Pengamat
Pengamat Ekonomi Energi UGM beberkan alasan Jokowi layak terima tawaran kerja sama proyek nuklir dari Presiden Vladimir Putin
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin dalam kesempatannya bertemu Presiden Joko Widodo menawari kerja sama untuk menggarap proyek nuklir di Indonesia.
Tawaran tersebut Putin sampaikan saat Jokowi berkunjung ke Istana Kremlin Moskow pada Kamis (30/6/2022) kemarin.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, tawaran proyek nuklir layak untuk diterima.
"Berdasarkan pengalaman, kompetensi dan keandalan teknologi yang dimiliki oleh Rosatom, tawaran Putin untuk mengembangkan PLTN di Indonesia layak diterima," ucapnya kepada Tribunnews.com, Senin (4/7/2022).
Fahmy kemudian membeberkan berbagai pencapaian teknologi nuklir yang dimiliki oleh negara berjuluk Negara Beruang Merah itu.
Pencapain tersebut dapat menjadi alasan Presiden Jokowi menerima awaran kerja sama proyek nuklir dari Presiden Putin.
Baca juga: Beda Penerimaan Putin saat Menjamu Jokowi dan Macron, Apa Makna Meja Berukuran 5 Meter Khas Rusia?
Diketahui, saat ini Rusia memiliki teknologi nuklir yang maju di bawah pengawasan perusahaan negara bernama Rosatom.
Termasuk dalam bidang pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Rosatom telah berhasil membangun sejumlah PLTN di Rusia, seperti Novovoronezh Unit 6, yang berkapasitas 1.200 MW di Voronezh dan PLTN Terapung KLT-40S, yang dapat berlayar menjelajahi sejauh 5.000 Km, dengan kapasitas sebesar 80 MW.
"Rosatom saat juga ini menggunakan teknologi nuklir generasi terbaru, tipe reaktor VVER 1200 dengan teknologi generation 3 Plus yang merupakan pertama di dunia, dengan masa operasi selama 60 tahun. Sistem Pengamanan teknologi VVER 1200 memiliki zero accident standaard," tambah Fahmy.
Keunggulan PLTN
Fahmy selanjutnya menguraikan keunggulan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dibandikan dengan tenaga lainnya.
Ia mengatakan, PLTN termasuk energi bersih yang dihasilkan dari uranium melalui proses dari reaktor nuklir sebagai bahan utama untuk menghasilkan listrik.
"Ini dapat melengkapi bauran energi baru terbarukan (EBT) pembangkit listrik di Indonesia," kata Fahmy.
Adanya PLTN juga dapat memudahkan langkah Indonesia untuk mencapai zero carbon pada 2060.
Baca juga: Kata Pakar soal Pertemuan Jokowi dengan Zelenskyy dan Putin: Strategis dan Turunkan Tensi Ketegangan
Oleh karena itu, Fahmy mendorong pemerintah Indonesia untuk serius menanggapi tawaran dari Presiden Putin
"Sudah saatnya bagi Indonesia untuk secara serius dan terus-menerus mengembangkan PLTN dengan mempertimbangkan tawaran kerja sama ini"
"Barangkali kerja sama tersebut akan dapat lebih memperlancar tindak lanjut realisasi usulan penghentian perang Rusia dan Ukrania, yang diusulkan oleh Indonesia," katanya.
Fahmy menilai, PLTN juga dapat menjawab permasalahan pembangkit listrik tenaga surya maupun angin.
Kedua tenaga tersebut tidak dapat memasok listrik secara penuh sepanjang waktu.
"Karena sifatnya intermittent, yang tergantung cahaya matahari dan hembusan angin," beber Fahmy.
Saran untuk DPR
Fahmy memberikan catatan kepada beberapa pihak sebelum kerja sama proyek nuklir direalisasikan.
Ia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengubah Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang selama ini menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhir.
Keduanya diharapkan dapat menepatkan PLTN sebagai energi prioritas.
Baca juga: Jokowi: Presiden Putin Jamin Keamanan Pangan dan Pupuk dari Rusia Maupun Ukraina
Selain itu, Pemerintah Indonesia perlu melakukan kampanye publik untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat (public acceptances rate) terhadap penggunaan PLTN.
Hal ini tidak lepas dari sejarah kelam massa lalu terkait bencana kecelakaan reaktor nuklir di beberapa negara, di antaranya Jepang, Rusia dan Ukrania
"Selama ini tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN masih sangat rendah," tutup Fahmy.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)