Myanmar Mengeksekusi 4 Aktivis Anti-kudeta, Picu Kecaman dan Kemarahan Internasional
Junta Myanmar mengeksekusi empat aktivis anti-kudeta, langkah ini menuai kecaman dan kemarahan internasional.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
“Masyarakat internasional harus bertindak sekarang untuk mengakhiri impunitas total junta teroris," imbuhnya.
"Tanggapan internasional terhadap eksekusi ini dan kejahatan internasional junta lainnya harus melibatkan sanksi terkoordinasi yang ditargetkan terhadap junta dan kepentingan bisnisnya, larangan bahan bakar jet dan embargo senjata global," jelasnya.
"Sanksi harus dikenakan pada Perusahaan Minyak dan Gas Myanma, untuk menghentikan dana minyak dan gas yang membiayai kekejaman junta.”
Baca juga: Pemimpin Junta Myanmar Beberapa Kali Kunjungi Rusia, tapi Belum Pernah Jumpa Putin
Kecaman dan kemarahan PBB
Berita pembunuhan itu disambut dengan kritik keras dari kelompok oposisi dan organisasi hak asasi manusia.
"Saya marah dan hancur mendengar berita eksekusi junta terhadap patriot Myanmar dan pembela hak asasi manusia dan demokrasi," kata Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar Tom Andrews, dikutip BBC.
"Tindakan bejat ini harus menjadi titik balik bagi komunitas internasional."
“Hati saya tertuju pada keluarga, teman, dan orang-orang terkasih mereka dan tentu saja semua orang di Myanmar yang menjadi korban kekejaman junta yang meningkat," tuturnya.
Tanggapan Menlu Jepang
Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan eksekusi tersebut akan semakin mengisolasi Myanmar dari komunitas internasional.
Dalam sebuah pernyataan, Hayashi menyebut langkah itu sebagai keprihatinan mendalam dan mengatakan itu akan mempertajam sentimen nasional dan memperdalam konflik.
Seorang juru bicara militer tidak menjawab panggilan untuk meminta komentar.
Baca juga: Menlu RI: Krisis di Myanmar Buat Penanganan Orang Rohingya Jadi Lebih Menantang
Tanggapan Kelompok HAM hingga Antonio Guterres
Hukuman mati para pria itu mendapat kecaman dari kelompok hak asasi manusia, Amerika Serikat, Prancis dan PBB, dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan eksekusi yang direncanakan sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap hak untuk hidup."