BHS Bantah Subsidi BBM di Malaysia Lebih Besar dari Indonesia, Sebut Harga Pertalite Bisa Turun
BHS ke Malaysia untuk langsung mengecek harga dan alokasi subsidi BBM di negara itu untuk membandingkannya dengan Indonesia.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, MALAYSIA - Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono (BHS), mengkritik penjelasan Dirut Pertamina di media yang menyebut subsidi harga BBM Petrol 95 (oktan 95) yang ada di Malaysia jauh lebih besar dari subsidi harga BBM Pertalite oktan 90 yang ada di Indonesia.
Menurut BHS, pernyataan itu adalah tidak benar dan tidak berdasar sehingga harga Pertalite harus lebih mahal dari Petrol 95 produk dari Petronas Malaysia
"Saya melakukan cek langsung ke Malaysia ternyata harga Petrol 95 yang oktannya setara dengan Pertamax plus sebesar 2,05 ringgit dengan kurs ringgit 3.339 atau setara dengan Rp 6.844 subsidi dari petrol 95 di Malaysia sebesar 0,45 ringgit atau setara dengan Rp 1.502 sehingga harga tanpa subsidi di Malaysia sebesar 2,5 ringgit atau setara dengan Rp 8.347," kata Bambang Haryo yang juga Ketua Harian MTI Jawa Timur dalam keterangannya, Rabu (3/8/2022).
BHS bahkan ke Malaysia untuk langsung mengecek harga dan alokasi subsidi BBM di negara itu untuk membandingkannya dengan Indonesia.
Baca juga: Harga BBM Non Subsidi Naik Mulai Hari Ini, Berikut Rincian Per Daerahnya
BHS yang juga Anggota DPR-RI Periode 2014-2019 ini mengatakan harga Pertalite yang dikatakan Pertamina per juli 2022 bila tanpa subsidi adalah sebesar Rp 17.200/liter.
Menurut dia, Pertamina mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk Pertalite sebesar Rp 9.550 per liter agar masyarakat bisa membeli dengan harga sebesar Rp 7.650 per liter yang masih jauh lebih mahal dari harga Petrol 95 di Malaysia.
Sehingga, lanjut Bambang Haryo, jelas subsidi di Malaysia jauh lebih kecil dari pada subsidi BBM yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, Mantan Wakil Sekjen MTI Pusat ini mengatakan bila pernyataan di media itu benar maka Dirut Pertamina memberikan pernyataan tanpa melakukan kajian dengan teliti.
"Demikian pula Pertalite hanya memiliki oktan 90 sedangkan Petrol 95 memiliki oktan 95 sehingga perbedaan Petrol 95 dengan Pertalite ada 5 oktan. Padahal penurunan per 1 oktan rupiahnya sangat besar. Misalnya di Malaysia Petrol 97 yang mempunyai oktan 97 harga tanpa subsidi adalah 4,55 ringgit atau setara dengan Rp 15.192. Sedangkan Petrol 95 yang mempunyai oktan 95 tanpa subsidi adalah 2,5 ringgit atau setara dengan Rp 8.347," katanya,
"Sehingga beda 2 oktan saja sebesar 2,05 ringgit atau setara dengan Rp 6.844, berapa tuh rupiahnya kalau perbedaannya 5 oktan? Tentu sangat besar," ungkap Alumnus ITS Surabaya Ini.
"Sedangkan Pertalite mendapatkan subsidi dari pemerintah (Kementerian ESDM) sebesar Rp 9.550/liter bila dengan harga yang sebenarnya sesuai dengan perhitungan yang ada di Malaysia dengan subsidi uang rakyat tersebut maka seharusnya rakyat membeli bahan bakar pertalite jauh lebih murah atau bahkangratis," ujar BHS.
Ditambahkan BHS, ada kejadian yang menarik di Malaysia harga produk dari Shell Company yaitu Shell V Power oktan 95 sama dengan harga Petrol 95 sebesar 2,05 ringgit atau setara dengan Rp 6.844.
Bila tanpa subsidi dari pemerintah, Shell di Malaysia menjual dengan harga sebesar 2,5 ringgit atau setara dengan Rp 8.347.
"Tetapi harga Shell di Indonesia untuk Shell oktan 95 yaitu Shell V Power oktan 95 adalah sebesar Rp 18.300 yang jauh lebih mahal dari Shell V Power Petrol 95 yang dijual di Malaysia," kata BHS.
"Tentu itu sangat merugikan masyarakat apalagi harga tersebut juga di tetapkan oleh Kementerian ESDM KEPMEN No. 62 K/12/MEM/2020 sehingga apakah Kementerian ESDM ikut terlibat?"tanya BHS.
BHS mengatakan bahan bakar adalah merupakan komoditas yang sangat vital karena menguasai hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, kata dia, sudah seharusnya Presiden bersama DPR ikut terlibat untuk menghadapkan ketiga lembaga diatas dengan Komisi Persaingan Usaha dan Badan Perlindungan Konsumen serta Yayasan Lembaga Konsumen.
"Karena bila dibiarkan akan membawa dampak ekonomi yang demikian luas dan tentu mengikabatkan inflasi yang sangat tinggi," ujarnya.
Apalagi, lanjut BHS, APBN yang diberikan Pertamina sebagai subsidi adalah tidak wajar.
"Maka Kementerian Keuangan bersama BPK dan KPK harus turun menyelesaikan permasalahan di atas, bila perlu independen masyarakat ikut terlibat mengaudit kebenaran harga Pertalite , Pertamax yang ada saat ini," katanya,
Oleh sebab itu, menurut BHS, pernyataan Dirut Pertamina yang mengatakan subsidi BBM di Malaysia lebih besar daripada subsidi BBM yang ada di Indonesia adalah tidak benar.
"Masyarakat bisa melakukan class action bila pernyataan Dirut Pertamina tersebut benar sesuai dengan yang ada di media massa," kata dia.
BHS berharap Kementerian ESDM segera merevisi tarif BBM Pertalite serta subsidinya yang dengan uang rakyat, disesuaikan dengan harga keekonomiannya yang sebenarnya agar masyarakat tidak dirugikan secara terus menerus.