Diburu Junta Militer, Ratu Kecantikan Myanmar Ini Kabur dan Mengungsi di Kanada
Han Lay sempat diburu polisi Myanmar saat berada di Thailand hingga akhirnya kabur ke Kanada.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Han Lay, ratu kecantikan Myanmar yang dikenal karena kritikannya terhadap junta militer, mencari suaka ke Kanada.
Thaw Nandar Aung atau dikenal sebagai Han Lay, mendarat di Toronto, Kanada pada Rabu (28/9/2022).
Dilansir Washington Post, Han Lay mengaku akan tinggal di Pulau Prince Edward, sebuah provinsi di lepas pantai Atlantik Kanada.
Sebelumnya, wanita 23 tahun ini mengatakan kepada Radio Free Asia, bahwa dia diberikan izin untuk tinggal dengan bantuan pejabat Kanada dan badan pengungsi PBB.
"Semuanya terjadi begitu cepat, dan saya hanya memiliki beberapa potong pakaian," katanya kepada RFA sebelum berangkat ke Kanada.
"Saya telah berbicara untuk Myanmar ke mana pun saya pergi. Karena Kanada adalah tempat yang aman bagi saya, saya akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara tentang masalah ini," imbuhnya.
Baca juga: PM Malaysia Sesalkan Kurangnya Tindakan PBB terhadap Krisis Myanmar
Han Lay menarik perhatian internasional dengan pidato emosionalnya selama final kompetisi Miss Grand International 2020 yang digelar pada tahun 2021 di Thailand.
Ia menggunakan waktunya di atas panggung untuk bicara menentang penguasa militer Myanmar.
Pada saat itu, junta atau Tatmadaw, baru saja merebut kekuasaan dan protes anti-militer berkecamuk.
Militer dan polisi menghadapi demonstran di seluruh penjuru negeri.
Salah satu insiden berdarah terjadi pada 27 Maret, di mana pasukan keamanan membunuh lebih dari 160 pengunjuk rasa.
Di hari yang sama, Han Lay berada di atas panggung di Bangkok dengan mengenakan gaun putih tradisional sebagai salah satu dari 20 finalis dalam kontes tersebut.
"Hari ini di negara saya, Myanmar, ketika saya akan berada di panggung ini, ada begitu banyak orang yang sekarat, lebih dari 100 orang meninggal hari ini," katanya kepada penonton, sambil menghapus air mata.
"Saya sangat menyesal untuk semua orang yang telah kehilangan nyawa mereka."
"Setiap warga dunia menginginkan kemakmuran negara mereka dan lingkungan yang damai," tambahnya.
"Dengan demikian, para pemimpin yang terlibat tidak boleh menggunakan kekuatan dan keegoisan mereka."
Pidato itu membuat Han Lay menuai sorotan serta ancaman di media sosial.
Setelah kontes berakhir, ia tinggal di Thailand untuk menghindari ancaman penangkapan di Myanmar.
Namun pada 21 September, setelah perjalanan singkat ke Vietnam, Han Lay ditolak masuk di Bandara Suvarnabhumi Bangkok.
Pejabat Thailand mengatakan dokumen perjalanannya yang dikeluarkan Myanmar tidak valid, lapor Reuters.
Sehari setelahnya, ia menulis di Facebook bahwa pihak kepolisian Myanmar juga berada di bandara dan berusaha menghubunginya.
"Saya akan menolak untuk bertemu dengan polisi Myanmar dengan menggunakan hak asasi saya," tulisnya, seraya menambahkan bahwa dia telah meminta bantuan dari otoritas Thailand dan PBB.
Menurut Human Rights Watch, langkah itu adalah "tindakan politik yang disengaja oleh junta untuk membuatnya tidak memiliki kewarganegaraan."
"Tidak ada keraguan bahwa apa yang terjadi adalah jebakan untuk mencoba memaksa Han Lay kembali ke Myanmar, di mana dia akan menghadapi penangkapan segera, kemungkinan pelecehan dalam penahanan, dan pemenjaraan," kata wakil direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson, dalam pernyataan Rabu.
Han Lay lahir pada tahun 1999 di Myawaddy, Myanmar.
Wanita 23 tahun ini merupakan lulusan psikologi dari Universitas Yangon.
Selain aktif di dunia pageant, Han Lay juga dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi yang vokal mengkritik kekuasaan junta militer serta kudeta yang terjadi di negaranya.
Myanmar telah dilanda kekerasan sejak militer merebut kekuasaan awal tahun lalu, dengan bentrokan antara pasukan junta dan milisi yang bersekutu dengan pemerintah bayangan dan kelompok pro-demokrasi.
Tindakan keras telah menargetkan kelompok pro-demokrasi dan pemuda, aktivis, politisi, selebriti dan influencer media sosial.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)