Dianggap Jadi Penyebab Tragedi Mematikan Halloween Itaewon, Apa Itu Turbulensi Kerumunan?
Turbulensi kerumunan terjadi saat kepadatan kelompok sangat tinggi hingga gerakan menjadi semakin aktif, dengan orang-orang tanpa sadar saling dorong
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan Korea Selatan (Korsel) pada Selasa waktu setempat telah merilis angka korban tewas tragedi mematikan Halloween di distrik Itaewon, Seoul pada Sabtu (29/10/2022) malam.
Jumlah korban tewas yang diketahui saat ini mencapai 156 orang.
12 diantaranya merupakan remaja dan 104 dewasa muda berusia 20-an tahun, kemudian 31 lainnya berusia 30-an, 8 berusia 40-an dan 1 berusia 50-an.
Terkait jenis kelamin, 55 adalah pria dan 101 merupakan wanita.
Sementara itu, dari 151 orang tambahan yang terluka, 29 diantaranya masih dalam kondisi kritis.
Baca juga: Aktor Lee Ji Han Tewas karena Selamatkan Gadis Kecil yang Terjebak di Tragedi Halloween Itaewon
Seorang Profesor Ilmu Sosial Komputasi di Universitas ETH Zurich yang mempelajari Dinamika Kerumunan, Dirk Helbing mengatakan bahwa jumlah wanita dan anak muda yang terbunuh 'sangat mengejutkan' dan perlu diselidiki lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan akhir.
"Saya tidak ingat pernah melihat angka di masa lalu yang (menguraikan) korban berdasarkan jenis kelamin atau usia. Bencana itu menunjukkan bahwa kita semua rentan, mungkin pada tingkat yang berbeda," kata Helbing.
Dikutip dari laman www.local10.com, Selasa (1/11/2022), Helbing telah mempelajari secara ekstensif bencana Parade Cinta Jerman tahun 2010, di mana 21 orang tewas ketika mereka mencoba keluar dari kemacetan dalam situasi 'turbulensi kerumunan' yang dianggap memiliki 'kesamaan yang mencolok' dengan tragedi yang baru saja terjadi di Seoul.
Perlu diketahui, turbulensi kerumunan terjadi saat kepadatan kelompok sangat tinggi sehingga gerakan menjadi semakin aktif, dengan orang-orang tanpa sadar saling mendorong satu sama lain dan mentransfer kekuatan diantara tubuh mereka.
"Kekuatan yang tidak menentu ini menyebabkan pola pergerakan kerumunan yang bergejolak, dan seseorang mungkin bisa tersandung, sehingga menciptakan lubang di kerumunan itu," jelas Helbing.
Ketika itu terjadi, orang-orang di dekatnya tidak lagi memiliki kekuatan lawan dari orang yang ada di depan mereka dan akan jatuh sendiri.
"Ini menciptakan efek domino lantaran semakin banyak orang yang jatuh di atasnya satu sama lain. Kondisi ini tidak memerlukan perilaku tanpa henti dari orang lain atau kesiapan untuk menyakiti orang," tegas Helbing.
Faktanya dalam banyak kasus kondisi kerumunan kritis, banyak orang ternyata mencoba untuk saling membantu, namun situasinya mungkin membuat mereka putus asa.
"Bahkan polisi atau unit pertolongan pertama pun tidak dapat mencegah bencana ini terjadi, begitu turbulensi massa terjadi," pungkas Helbing.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.