Jumlah Pengangguran di Jerman Terus Meningkat
Badan Tenaga Kerja Federal Jerman mengatakan jumlah pengangguran di negara itu melonjak 17.000 pada November lalu hanya dalam hitungan bulanan
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, BERLIN - Badan Tenaga Kerja Federal Jerman mengatakan jumlah pengangguran di negara itu melonjak 17.000 pada November lalu hanya dalam hitungan bulanan, menjadi 2.540.000.
Statistik yang dikeluarkan pada Rabu kemarin menunjukkan tingkat pengangguran negara naik menjadi 5,6 persen pada bulan lalu dari 5,5 persen pada Oktober 2022.
Analis pun tidak memperkirakan angka tersebut akan berubah dari bulan sebelumnya.
Dikutip dari laman Russia Today, Kamis (1/12/2022), Daniel Terzenbach, yang bertanggung jawab atas wilayah di Badan Tenaga Kerja Federal mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa secara keseluruhan, pasar tenaga kerja stabil.
"Pengangguran dan setengah pengangguran yang disesuaikan secara musiman telah meningkat sekali lagi dan pekerjaan jangka pendek meningkat lagi, namun lapangan kerja tumbuh secara signifikan," kata Terzenbach.
Laporan tersebut menyoroti bahwa tingkat pengangguran tertinggi di negara itu tercatat di Bremen mencapai 10,4 persen, di Berlin 8,9 persen dan terendah di Bavaria 3,3 persen.
Perekonomian terbesar Uni Eropa (UE) yang dilanda krisis energi dan rekor inflasi, secara luas diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi.
Ketua kelompok parlementer Partai Demokrat Bebas (FDP) di Landtag Rhine-Westphalia Utara, Henning Höne, pada pekan lalu menyatakan bahwa standar hidup Jerman dapat runtuh sebagai akibat dari 'kegagalan total' kebijakan energi pemerintah.
Baca juga: Angka Pengangguran Menurun ke 5,86 % , Menaker: Ada Tiga Tantangan Hadapi Bonus Demografi
Negara ini juga menghadapi risiko eksodus besar-besaran perusahaan, karena melonjaknya biaya energi, dengan satu dari empat perusahaan Jerman dilaporkan mempertimbangkan untuk memindahkan produksinya ke negara lain.
Menurut Federasi Industri Jerman (BDI), perusahaan menderita berbagai masalah, termasuk harga energi yang tinggi, rantai pasokan yang terganggu, bahkan gempa susulan dari tindakan keras China terhadap pandemi virus corona (Covid-19).