Belanda Siapkan 200 Juta Euro untuk 'Tebus Dosa' Soal Sejarah Perdagangan Budak
Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte meminta maaf atas nama pemerintahnya terkait 'peran sejarah Belanda dalam perbudakan dan perdagangan budak'.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, DEN HAAG - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf pada Senin kemarin atas nama pemerintahnya terkait 'peran sejarah Belanda dalam perbudakan dan perdagangan budak'.
"Hari ini saya minta maaf," kata Rutte dalam pidato 20 menit yang ditanggapi secara hening oleh hadirin yang diundang di Gedung Arsip Nasional di Den Haag, Belanda.
Namun, beberapa Juru kampanye mendesak dirinya untuk menunda pidatonya hingga tahun depan, untuk memperingati 160 tahun penghapusan perbudakan di negara itu pada 1 Juli 2023.
Dikutip dari laman Euro News, Selasa (20/12/2022), menjelang pidato tersebut, seorang pensiunan kelahiran Suriname yang telah tinggal selama bertahun-tahun di Belanda, Waldo Koendjbiharie mengatakan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup.
"Ini tentang uang. Permintaan maaf adalah hanya kata-kata dan dengan kata-kata itu anda tidak bisa membeli apapun," kata Koendjbiharie.
Rutte menyampaikan kepada wartawan setempat setelah pidatonya bahwa pemerintah Belanda tidak menawarkan kompensasi kepada 'orang, baik itu cucu atau cicit dari orang yang diperbudak'.
Sebaliknya, pemerintah Belanda membentuk dana 200 juta euro untuk prakarsa membantu mengatasi warisan perbudakan di Belanda dan bekas jajahannya serta mempromosikan pendidikan tentang masalah ini.
Dalam pidatonya, Rutte meminta maaf atas tindakan Belanda di masa lalu.
"Secara anumerta kepada semua orang yang diperbudak di seluruh dunia yang menderita akibat tindakan tersebut, kepada putri dan putra mereka, dan kepada semua keturunan mereka di sini dan saat ini," tegas Rutte.
Menggambarkan bagaimana lebih dari 600.000 pria, wanita dan anak-anak Afrika dikirim, sebagian besar ke bekas koloni Suriname, oleh pedagang budak Belanda, Rutte pun menekankan bahwa sejarah seringkali 'jelek, menyakitkan dan bahkan sangat memalukan'.
Baca juga: PM Belanda Minta Maaf atas Tindakan Perbudakan Selama 250 Tahun, termasuk di Indonesia
Ia juga mengakui upaya untuk menunda pidatonya hingga Juli mendatang, termasuk perintah pengadilan yang diajukan oleh enam yayasan Suriname.
"Kami tahu tidak ada satu momen yang baik untuk semua orang, tidak ada kata yang tepat untuk semua orang, tidak ada tempat yang tepat untuk semua orang," jelas Rutte.
Perlu diketahui, selama abad ke-17, Belanda adalah salah satu negara terkaya di dunia, dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat bergantung pada perdagangan budak.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.