Demi Pangkas Emisi Karbon, Uni Eropa Setuju Jadikan Ulat dan Jangkrik Santapan Lezat
Larva ulat bambu hingga jangkrik rumah akan menjadi serangga yang dapat dijual sebagai makanan bagi orang-orang di Uni Eropa (UE).
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Endra Kurniawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, BRUSSELS - Larva ulat bambu yang mirip belatung, sejenis kumbang hitam mengkilap dan jangkrik rumah akan menjadi serangga yang dapat dijual sebagai makanan bagi orang-orang di Uni Eropa (UE).
Delapan aplikasi lainnya terkait ide ini pun tengah menunggu persetujuan.
Pada Selasa kemarin, UE memberikan lampu hijau untuk penjualan larva dalam bentuk bubuk, beku, pasta dan dikeringkan.
Jangkrik dapat dijual sebagai bubuk yang dihilangkan sebagian lemaknya.
Dikutip dari laman Deutsch Welle, Rabu (25/1/2023), bagi banyak orang Eropa, ide mengkonsumsi makhluk yang menggeliat atau merangkak dalam bentuk apapun 'tidak terlalu menarik'.
Baca juga: Emisi Karbon Dogecoin Turun 25 Persen Berkat Campur Tangan Elon Musk
Namun serangga, yang telah menjadi kelezatan di restoran kelas atas seluruh dunia, dikenal sebagai makanan yang normal dan sehat di banyak negara, mulai dari Meksiko hingga Thailand.
Hewan ini juga menarik perhatian para ilmuwan dan bisnis yang ingin membersihkan lahan pertanian dan memberi makan populasi planet yang terus bertambah.
Memangkas emisi daging merupakan 'tantangan besar'
Sebagian besar polusi yang memanaskan planet berasal dari makanan yakni daging dan produk susu yang menyumbang sekitar seperempat dari pemanasan global.
"Sapi dan domba menyemburkan metana, gas rumah kaca yang kuat namun berumur pendek, dan petani membabat hutan untuk membuat padang rumput dan menanam kedelai, yang tiga perempatnya digunakan untuk pakan ternak," kata Direktur Teknis Program Pangan di World Resources Institute (WRI), sebuah organisasi penelitian lingkungan AS, Tim Searchinger.
Jika jangkrik goreng dan salad ulat bambu dapat menggantikan beberapa steak dan hamburger, maka hewan ini dapat memainkan peran kecil dalam menghentikan kepunahan spesies dan membatasi perubahan iklim.
"Merupakan tantangan yang sangat besar untuk menangani peningkatan permintaan produk peternakan, kami harus mengejar setiap solusi," tegas Searchinger.
'Tidak ada yang akan dipaksa mengkonsumsi serangga'
Baca juga: Dewan Energi Nasional Optimis Target Nol Emisi Karbon Tahun 2060 Bakal Tercapai
Keputusan Komisi Eropa untuk menyetujui dua serangga baru sebagai makanan, tampaknya bukan bagian dari dorongan untuk mengubah pola makan.
Meskipun dikatakan bahwa konsumsi serangga 'berkontribusi positif terhadap lingkungan dan kesehatan serta mata pencaharian'.
Namun aturan baru mengklarifikasi bahwa larva ulat bambu dan jangkrik rumahan aman dikonsumsi bagi mereka yang tidak alergi.
Komisi Eropa juga memutuskan bahwa makanan yang mengandung serangga harus diberi label.
"Tidak ada yang akan dipaksa makan serangga," kata Komisi Eropa dalam cuitannya pada pekan lalu.
Namun, langkah tersebut dapat mempercepat peralihan ke pola makan yang tidak terlalu merusak lingkungan.
Perlu diketahui, sekitar 35 hingga 60 persen dari berat kering serangga terdiri dari protein.
Serangga lebih baik jika dibandingkan hewan ternak dalam mengubah kalori pada makanannya menjadi kalori di tubuhnya.
Selain itu, serangga juga berkembang biak dan menambah berat badan secara cepat.
Hanya segelintir penelitian yang mencoba mengatasi kerusakan lingkungan akibat mengkonsumsi serangga.
Studi sebelumnya menemukan serangga lebih baik untuk lingkungan jika dibandingkan dengan daging, namun lebih buruk daripada tumbuhan.
Rasa jijik tetap menjadi 'rintangan terbesar'
Namun meyakinkan orang di UE dan Amerika Serikat (AS) untuk mengkonsumsi lebih banyak serangga bisa menjadi hal yang rumit.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Aturan Kurangi Emisi Karbon untuk Genjot Produksi Migas
Menurut laporan tahun 2020 dari Organisasi Konsumen Eropa, sebuah kelompok payung yang sebagian didanai oleh UE, tiga perempat konsumen Eropa tidak mau menukar daging dengan serangga dan 13 persen lainnya tidak yakin.
Sedangkan menurut laporan tahun 2022 dari badan lingkungan Jerman yakni UBA, di negara itu, 80 persen orang mengatakan bahwa mereka muak dengan ide mengkonsumsi serangga.
"Jijik dipandang sebagai rintangan terbesar untuk masuknya serangga ke pasar makanan Barat," tulis para penulis.
Meskipun makanan Barat termasuk diantaranya makanan lain yang terkait dengan pembusukan, seperti keju berjamur, penelitian terkait apakah hambatan ini dapat diatasi masih dalam tahap awal.
Sebuah studi yang diterbitkan pada bulan Desember menemukan orang lebih mau makan serangga setelah diberitahu tentang manfaat lingkungan.
Sebuah studi terpisah yang dilakukan pada 2020 menunjukkan norma sosial mengubah cara orang terbuka untuk mengkonsumsi belalang.
"Karena manusia adalah spesies yang sangat sosial, memanfaatkan sifat sosial mungkin terbukti sangat berguna," tulis para penulis.